Gas Melon Sulit, Emak-Emak Menjerit

Gas Melon Sulit, Emak-Emak Menjerit

Oleh. N.S. Rahayu
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com-Berita panas bikin gerah minggu-minggu ini adalah langkanya gas elpiji 3 kg. Para pemangku kekuasaan negara kaget mengetahui harga gas melon ini di kisaran Rp22.000-23.000 di tingkat pengecer, padahal harga dari Pertamina hanya Rp12.750. Nah, diambillah kebijakan mengembalikan pembelian ke agen dan pengecer tidak boleh menjual gas melon lagi. Tujuannya agar masyarakat mendapat harga yang murah dan terjangkau.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin Bahlil Lahadalia pada 1 Februari 2025 mengeluarkan larangan penjualan tabung LPG (elpiji) 3 kg di pengecer. Dalam aturan terbaru tersebut, masyarakat hanya bisa membeli langsung di pangkalan atau sub penyalur resmi yang terdaftar di Pertamina (finance.detik.com, 8/2/2025).

Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Kebijakan ini tentu menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan.

Imbas lain kebijakan ini adalah masyarakat. Bagaimana ribetnya para emak yang sudah terlanjur tergantung dengan besi kayak melon hijau itu. Mereka menjerit, katanya, sudah harganya mahal, barangnya sulit didapat. Sehingga, pasti akan menimbulkan kegaduhan luar biasa, karena melon hijau ini berkaitan langsung pada ketenangan keluarga dan masyarakat. Bukan para emak saja yang ‘rekoso’, para bapak, dan anak-anak juga ikut ‘rekoso’.

Masyarakat yang sudah stres _mikir_ kebutuhan pokok pada mahal, lapangan kerja makin sedikit, PHK besar-besaran, sakit berbayar mahal, pendidikan mahal, dan ragam kesulitan lainnya. Masih kepontalan cari gas melon ke agen yang belum tentu mencukupi permintaan. Jalan bawa tabung yang berat sambil gendong anak, masih antre berjam-jam yang mengular di tengah panas atau hujan. Jika dikalkulasi waktu dan upaya demi dapat melon hijau dengan harga Rp17.000-18.000 dari agen maka akan lebih murah harga Rp22.000-Rp23.000 beli di pengecer. Bahkan, risiko nyawa taruhannya. Biasa ke pengecer hanya jalan kaki 10 menit pulang pergi. Untuk dapat gas melon ini, perjuangan besar naik motor di jalanan menuju agen, bahkan jalan kaki berkilo-kilo meter.

Miris, nasib malang menimpa nenek Yonih binti Saman, 62 tahun, diduga kelelahan usai jalan kaki membawa dua tabung gas melon dari agen yang menempuh waktu kurang lebih dua jam.

Protes kemarahan emak-emak saat antre pun menjadi gambaran ironi di negara pemroduksi gas ini. Hingga akhirnya, usai menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, negara membatalkan kebijakan pembelian gas melon di agen.

Meski kebijakan itu dibatalkan, faktanya antrean gas melon di beberapa tempat masih terjadi. Di sistem kapitalis ini jargon kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah seakan-akan benar adanya. Sudahlah hidup masyarakat makin sulit, harapan para emak pada gas melon makin menambah derita.

Akar permasalahan ini, sebenarnya ada pada sistem yang diterapkan saat ini. Selama masih menerapkan kapitalisme, tidak akan bisa membawa pada perubahan yang pro pada rakyat. Persoalan apa pun tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas. Solusi-solusi tambal sulam hanya memperpanjang kezaliman di tengah masyarakat.

Karena salah satu sifat sistem kapitalisme adalah memudahkan para pemilik modal besar dalam menguasai pasar, baik dari bahan baku hingga bahan jadi. Dalam sistem ini meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan mulus bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Para korporasi ini menentukan kebijakan agar pro pada mereka, sehingga bisa mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan.

Islam menetapkan tiga kepemilikan umum yaitu air, padang rumput, dan api pengelolaannya diambil oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada masyarakat umum. Dan migas (api) termasuk dalam kepemilikan umum. Kewajiban negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in.

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Negara mengurus dan memudahkan urusan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum, dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas. [Ni]

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: