Headlines
Loading...
Seblakmu Hari Ini, Bisa Jadi Air Matamu Esok Hari

Seblakmu Hari Ini, Bisa Jadi Air Matamu Esok Hari

Oleh. Rini Sulistiawati
(Pemerhati Kehidupan Sosial dan Keluarga Muslim)

SSCQMedia.Com—Pernah mencicipi semangkuk seblak? Aroma bawang putih sangrai yang menggoda, kencur menyusup tajam ke hidung, kuah pedas menyala semerah bara, dan kerupuk basah kenyal yang meletup di lidah. Seblak bukan lagi sekadar jajanan kaki lima. Ia menjelma jadi tren. Jadi gaya hidup. Jadi candu yang merasuk ke generasi muda tanpa ampun.

Anak-anak menyukainya. Remaja-remaja memujanya. Bahkan, sebagian menjadikannya makanan pokok harian. Dan di antara mereka, ada anakku, putriku satu-satunya, anak ketigaku. Usianya baru 17 tahun, kelas dua SMA. Tapi sehari penuh, yang masuk ke perutnya hanya satu hal yaitu seblak. Tanpa nasi. Tanpa sayur. Tanpa lauk. Hanya seblak.

Sebagai ibu, aku cemas. Lidahnya mungkin puas, tapi bagaimana dengan tubuhnya? Lambungnya? Masa depannya? Bahkan yang membuatku lebih miris adalah nama seblaknya, “Seblak Setan”.

Ketika Lidah Menang, Tubuh yang Kalah

Seblak zaman dulu, mungkin hanya seblak. Tapi kini, ia naik kasta lewat nama-nama yang ekstrem: Seblak Setan, Seblak level Neraka, Seblak Iblis, Seblak Pocong. Mungkin tujuannya sekadar agar viral, mudah diingat, dan akhirnya laris di pasaran. Tapi mari kita berpikir jernih dan jujur: kalau namanya Seblak Setan, berarti yang masak setan, yang jual setan, dan yang makan? Ya, pengikut setan, dong!

Kedengarannya memang lucu. Tapi di balik tawa itu, ada keprihatinan yang dalam. Karena nyatanya, justru makanan seperti itulah yang paling digemari dan diburu.

Menurut KlikDokter (9/8/2023), seblak berisiko memicu GERD, maag, hipertensi, dan obesitas karena kandungan MSG, garam tinggi, dan minyak yang digunakan berulang.

Dilansir dari Republika (6/2/2025) menambahkan bahwa GERD yang tak ditangani bisa menyebabkan komplikasi serius, hingga kanker esofagus (kompas.com, 21/3/2024) mencatat bahwa penyakit pencernaan atas seperti GERD menyebabkan sekitar 6.500 kematian per tahun di Indonesia.

Belum selesai sampai di situ. Akibat makan seblak pedas tanpa makanan lain, putriku mengalami sembelit parah. Ia duduk di kamar mandi lebih lama dari waktu belajarnya.

Menurut Kompas (14/6/2022), sembelit yang berlangsung lebih dari tiga hari dapat memicu komplikasi: dari wasir, fisura _ani_, hingga impaksi tinja. Bahkan, anak dan remaja yang rutin mengonsumsi makanan rendah serat dan tinggi MSG berisiko terkena gangguan pencernaan kronis. Dan semua itu bisa berawal … dari semangkuk seblak yang “kelihatannya sepele”.

Ustaz Ucu Nazmudin dan Seblak Setan

Dalam kajian parenting islami yang aku ikuti, Ustaz Ucu Nazmudin seorang pakar parenting islami menampar kami dengan senyumnya yang khas. Beliau berkata, "Makanan dalam Islam itu bukan cuma halal. Tapi juga harus tayib. Kalau dinamai Seblak Setan, ya berarti yang jual setan, yang masak setan, yang makan ... pengikut setan. Mau?”

Seisi kajian tertawa, tapi tawa itu menyisakan perih. Karena kami sadar, realitas itu sedang terjadi. Di rumah kami. Di anak kami. Di meja makan kami.

Ustaz Ucu juga berpesan, "Ibu yang memasak sendiri di rumah, pahalanya mengalir. Tapi kalau beli terus, yang panen pahala malah penjualnya. Sayang banget, kan?”

Masakan ibu, kata beliau, adalah ziyadatul khayr— makanan yang menambah keberkahan, bukan sekadar mengenyangkan.

Aku bersyukur pernah duduk dalam majelisnya. Dalam kajian itu beliau menyampaikan, makanan bukan hanya perkara kenyang. Ia bisa jadi jalan masuk kebaikan, atau justru musibah. Dan jika makanan dinamai buruk, seperti Seblak Setan, maka ia membawa energi buruk pula dalam nama, rasa, bahkan nasib.

Di Mana Negara?

Negara sejauh ini belum punya regulasi jelas tentang penamaan makanan yang buruk atau menyesatkan. Tidak ada sanksi bagi pedagang yang menjual makanan bernama setan atau iblis bahkan neraka. Edukasi pangan belum menyentuh selera anak-anak yang candu makanan pedas. Negara belum hadir di titik paling rawan seperti warung-warung viral yang menjadi dapur kemerosotan akhlak dan kesehatan.

Label “halal” tak cukup. Sistem pangan harus menegakkan prinsip “halalan tayiban”. Karena masyarakat bukan hanya perlu kenyang … tapi juga selamat.

Islam Kafah: Menjaga Mulut, Menjaga Umat

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk apa yang masuk ke mulut. Allah berfirman:
"Makanlah dari yang halal lagi tayib, dan jangan ikuti langkah-langkah setan.” (QS Al-Baqarah: 168)

Dalam Sistem Islam Kafah

Di dalam sistem Khilafah, pasar diawasi oleh muhtasib—yang memastikan makanan aman, bergizi, tidak najis, dan tidak menyesatkan secara nama atau akidah.

Nama makanan tak boleh sembarangan. Tidak boleh mempromosikan makhluk halus, neraka, atau setan.

Edukasi pangan dilakukan sejak dini agar anak-anak memilih makanan bukan karena tren, tapi karena iman.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), dikenal sosok penting yang disebut muhtasib. Ia adalah seorang pejabat yang memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban umum, terutama dalam urusan pasar dan kehidupan sosial masyarakat. Tugasnya bukan hanya soal jual beli, tapi juga menyangkut moral, adab, dan nilai-nilai syariat di ruang publik.

Beberapa tanggung jawab utama muhtasib, antara lain:
Pertama, memastikan aktivitas perdagangan berjalan jujur dan adil—mulai dari takaran timbangan, kualitas produk, hingga harga yang wajar.

Kedua, mengawasi agar makanan dan minuman yang dijual kepada masyarakat benar-benar halal sekaligus tayib, tidak membahayakan dan tidak najis.

Ketiga, mencegah dan menegur perilaku menyimpang di tengah masyarakat, seperti pergaulan bebas, campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa batas syar’i, atau pakaian yang tidak menutup aurat sesuai syariat.

Ketiga, langsung bertindak atas pelanggaran syariat di tengah masyarakat tanpa harus menunggu laporan warga atau proses hukum yang panjang.

Muhtasib bekerja di bawah lembaga bernama hisbah, yaitu institusi pengawasan dalam Islam yang mengemban misi amar makruf nahi mungkar. Dalam sejarah Islam, muhtasib dikenal sebagai sosok yang berani menegakkan kebenaran, namun tetap lembut dan peduli terhadap umat yang dia jaga.

Misalnya, jika ada pedagang yang memberi nama makanannya “Seblak Setan”, atau menjual produk yang bisa merusak kesehatan, seorang muhtasib akan menegur dengan tegas. Ia bahkan berwenang meminta nama itu diganti atau melarang penjualannya, karena hal tersebut bertentangan dengan nilai Islam dan membahayakan masyarakat.

Singkatnya, muhtasib adalah penjaga akhlak dan pengawas pasar dalam naungan syariat Islam yang memastikan segala sesuatu yang beredar di tengah masyarakat tetap berada di jalan yang diridai Allah

Negara bertanggung jawab menjaga kesehatan rakyat, bukan hanya lewat rumah sakit, tapi sejak dari isi piring.

Aku, Seorang Ibu dalam Sistem Islam

Dalam sistem Islam, aku tidak dibiarkan bertarung sendiri menghadapi iklan makanan setan, godaan diskon pedas, atau rengekan anak. Aku didampingi:
1. Oleh negara yang menjaga dapur rakyat dengan aturan dan pengawasan.
2. Oleh masjid dan majelis ilmu yang menyuarakan makanan halal dan tayib.
3. Oleh media Islam yang tak menjadikan makanan setan sebagai hiburan.
4. Oleh masyarakat yang saling menegur dalam kebaikan.
5. Dan tentu, oleh iman yang menjadikan panci dan spatula sebagai senjata mendidik anak.

Arah Perubahan: dari Dapur, Menuju Peradaban

Untuk para pedagang: beri nama makanan dengan kata-kata yang baik, mendidik, dan membawa doa. Bukan nama yang melecehkan iman demi viral sesaat.

Untuk para ibu: kembalilah ke dapur dengan semangat. Masakan ibu bukan sekadar mengenyangkan, tapi juga membentuk ruhiyah dan kepribadian anak-anak.

Untuk masyarakat: jangan normalisasi makanan yang buruk dalam nama maupun isi. Ajak lingkungan sekitar memilih yang baik, membangun budaya makan yang sehat dan bermartabat.

Untuk negara: hadirlah dengan aturan yang menjaga generasi. Awasi penamaan makanan, kandungan, dan penyebarannya. Edukasi rakyat dengan prinsip halalan tayiban, bukan sekadar label halal tanpa ruh.

Untuk umat Islam seluruhnya: perjuangkan tegaknya sistem Islam kafah. Agar setiap yang masuk ke mulut, tak hanya mengenyangkan, tapi juga menyelamatkan—di dunia dan akhirat.

---

Seblakmu hari ini, bisa jadi air matamu esok hari.
Jangan biarkan generasi kita dikendalikan lidah.
Kendalikan lidahmu, demi keselamatan tubuh dan iman.

Barang siapa menjaga apa yang masuk ke perutnya, maka Allah akan menjaga tubuh dan hatinya.” [Ulama Salaf]

Wallahualam bissawab. [Ni]

---

✍️ Tentang Penulis

Rini Sulistiawati adalah seorang ibu dari lima anak, pendakwah, pegiat literasi, dan pendongeng dengan boneka kesayangannya, Julaeha. Aktif menyeru umat melalui tulisan dan suara, ia yakin bahwa kebangkitan umat bisa dimulai dari meja makan dan panci-panci para ibu.

Baca juga:

0 Comments: