Headlines
Loading...
Pendidikan Indonesia, Mendidik atau Mencabik-cabik?

Pendidikan Indonesia, Mendidik atau Mencabik-cabik?

Oleh. Ummi Fatih
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Aktivitas pendidikan di Indonesia pada hakikatnya ditujukan untuk membentuk karakter mulia para peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya yang bermanfaat bagi sesama. Namun, mengapa pada kenyataannya banyak individu yang justru tumbuh menjadi pribadi tidak bermoral, kaku tanpa empati, dan kehilangan unsur kemanusiaannya sebagai makhluk sosial? Padahal, tujuan utama pendidikan bukan hanya melahirkan insan cerdas secara akademis, tetapi juga menumbuhkan kepekaan hati, rasa hormat, dan tanggung jawab sosial yang kini semakin terkikis oleh pola pendidikan berorientasi nilai rapor semata.

Dalam berbagai liputan berita yang sedang viral saat ini, tindak kekerasan pelajar hampir setiap hari ditunjukkan semakin kejam. Sebagaimana dilaporkan Kompas.com pada tahun 2023, terdapat 11 anak yang berani melakukan tindakan bullying atau perundungan kepada teman mereka sendiri (9/6/2023). Tak cukup sampai di situ, pada tahun 2025 ini pun ditemukan seorang anak berusia 12 tahun menjadi korban perundungan kejam karena menolak minum segelas tuak (cnnindonesia.com, 26/6/2025).

Sumber Kehancuran Pendidikan

Keruntuhan karakter pendidikan di Indonesia saat ini sebenarnya adalah dampak dari sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan negara, tanpa menyadari dan peduli akan efek buruknya bagi masyarakat. Dari sisi kapitalisme yang menjadikan segala hal, termasuk pendidikan, sebagai ladang bisnis, maka layanan pendidikan yang diberikan pemerintah pun hanya sekadar formalitas untuk mendatangkan pemasukan finansial, bukan sebagai amanah sumpah politik mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di antara bukti paling nyata akan hal itu:
Pertama, beranikah mereka menolak godaan untuk tidak korupsi dana pendidikan yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa kecuali?

Kedua, biaya pendidikan dibiarkan terus melonjak, hingga tak sedikit masyarakat lebih memilih putus sekolah daripada berjuang mencari ilmu yang bermanfaat.

Ketiga, berbagai kebijakan pendidikan yang awalnya diklaim membawa harapan, nyatanya justru menambah beban rakyat. Contohnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang hanya diberikan sekali sehari di sekolah, padahal aktivitas belajar para generasi berlangsung dari pagi hingga sore dengan tumpukan tugas sekolah dan PR yang menguras energi mereka. Lantas, apakah satu kali makan itu cukup untuk menunjang kebutuhan gizi optimal anak-anak bangsa ini?

Di sisi lain, sistem sekuler yang memisahkan dari kehidupan nyata menempatkan pendidikan agama hanya sebagai pelengkap, bukan kebutuhan utama dalam proses pendidikan. Kurikulum pendidikan pun tidak melahirkan sosok berkepribadian cemerlang, cerdas berpikir, dan mulia dalam bersikap. Padahal, agama berisi petunjuk sempurna dari Tuhan Sang Pencipta alam semesta yang seharusnya menjadi dasar utama pendidikan agar setiap individu mampu berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah hidupnya.

Sementara ilmu sains, teknologi, dan matematika hanyalah tambahan kecerdasan intelektual yang tidak semua orang wajib kuasai secara mendalam. Namun kenyataannya, dalam jenjang pendidikan di Indonesia, ilmu sains, teknologi, dan matematika diajarkan hampir setiap hari, sedangkan pelajaran agama hanya disuguhkan sekali dalam sepekan. Bukankah kondisi demikian menjadikan para generasi kehilangan pengetahuan tentang tujuan utama hidupnya? Akibatnya, mereka melupakan Tuhan yang seharusnya ditaati, merasa bebas bertindak tanpa takut dosa, dan tanpa rasa bersalah kepada sesama manusia.

Dari faktor-faktor inilah perilaku tidak manusiawi semakin marak, seperti kasus perundungan di sekolah yang terus meningkat. Dengan demikian, apakah hal tersebut hanya bisa diselesaikan dengan resep medis kedokteran dan rumus sains teknologi matematika oleh para profesor, sedangkan mental mereka tidak lagi lunak untuk menerima nasihat kebaikan? Bahkan, dalam bidang pendidikan psikologis bagi pelaku kekerasan pun sulit membuahkan hasil, karena ilmu psikologi saat ini lebih sering hanya berupa curhat dari hati ke hati ditambah obat penenang, tanpa solusi pembersihan pemikiran dari godaan nafsu setan.

Solusi Pendidikan Hanya dengan Islam

Dahulu kala, kehidupan damai dan sejahtera pernah ditegakkan di bumi ini, sebab syariat Islam menjadi landasan utama dalam semua pilar kehidupan. Dalam pilar keluarga, yang menjadi ruang pertama dan utama dalam mendidik anak sejak dini, kewajiban itu telah diberikan Allah Swt. kepada para orang tua. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang berbunyi:

"Seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari)

Oleh sebab itu, ibu haruslah seseorang yang memiliki hati penyayang dan memahami Islam dengan akalnya, sehingga pola pengasuhan, pemeliharaan, dan pendidikan mereka menumbuhkan generasi yang mengenal dan menaati Allah Swt. Ibu juga harus mengenalkan mereka kepada para nabi, terutama Rasulullah saw. yang penuh kesabaran dalam hidupnya. Dengan begitu, kelak anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang paham akan cinta murni dan menjaga kerukunan.

Selanjutnya, ketika umat manusia telah tumbuh menjadi makhluk beriman dan bertakwa dalam rumah, mereka pun akan berjalan dalam jalur ketakwaan itu saat di luar rumah. Hasilnya, dalam kehidupan bermasyarakat, kerukunan dan kasih sayang akan terwujud.

Dalam pilar tertinggi suatu negara yang disebut Daulah Khilafah, sejarah telah membuktikan adanya peran penting negara yang sadar akan tanggung jawab besarnya untuk mengurus masyarakat. Negara Khilafah menerapkan semua ajaran Islam dalam berbagai segi kehidupan sesuai dengan sabda Nabi saw.:

"Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari)

Kesadaran akan hukum syariat Islam menjadikan negara merasa wajib memberikan layanan optimal bagi semua kebutuhan pokok masyarakat, termasuk pendidikan. Sebab, pendidikan dalam Islam dipandang sebagai air kehidupan yang harus dikonsumsi setiap hari agar manusia tidak mati, tetapi mampu memberi manfaat bagi kehidupan. Abu Musa Al-Asy'ari juga meriwayatkan sabda Nabi saw.:

"Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah seperti hujan yang bermanfaat yang mengenai tanah.…" (HR Bukhari)

Atas dasar kesadaran tersebut, negara akan menyediakan layanan pendidikan dengan fasilitas terbaik secara cuma-cuma sebagai tanggung jawabnya. Dari segi kurikulum, negara juga wajib menggunakan syariat Islam di seluruh jenjang pendidikan dengan tujuan membentuk pola pikir dan jiwa Islam. Akhirnya, kepribadian Islam yang kokoh, diiringi bekal ilmu pengetahuan terapan yang cemerlang, akan terbentuk sejak dini. Mereka tidak akan merasa tertekan oleh berbagai materi pelajaran yang membuat stres hingga menyulut amarah, sebab mereka sudah dilatih dengan kasih sayang agama yang menyejukkan jiwa.

Bahkan, untuk penilaian kenaikan kelas dan kelulusan pun akan sangat diringankan tanpa batas usia di lingkungan sekolah. Dalam negara Khilafah, seorang anak bisa dinyatakan lulus meskipun baru empat tahun bersekolah jika telah memiliki karakter Islam dan kemampuan berpikir serta bertindak sesuai syariat. Semua itu dilakukan untuk meraih rida Allah Swt., bukan sekadar kebebasan tanpa kendali dengan dalih hak asasi manusia.

Ilmu sains, teknologi, dan matematika akan diajarkan lebih mendalam di jenjang perguruan tinggi sesuai jurusan, dengan tetap mewajibkan ilmu keislaman sebagai bagian utama pembelajaran. Sebab ilmu agama memiliki cakupan manfaat yang lebih luas untuk kehidupan. Dengan pola pendidikan seperti ini, akan terbentuk generasi bertakwa, berakhlak mulia, bijaksana, dan mampu menjadi penerus bangsa yang sebenarnya. Mereka akan meraih gelar sebagai makhluk mulia di hadapan Tuhan dan manusia.

Lalu, sistem pendidikan seperti apakah yang seharusnya kita pilih untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini? [Ni]

Baca juga:

0 Comments: