Headlines
Loading...
Malapetaka Kanjuruhan Akibat Represifnya Aparat atau Fanatisme Golongan ?

Malapetaka Kanjuruhan Akibat Represifnya Aparat atau Fanatisme Golongan ?



Oleh : Deny Rahma (Komunitas Menulis Setajam Pena)

SSCQMedia.Com- Dunia persepakbolaan Indonesia kembali berduka. Per tanggal 5 Oktober 2022 jumlah orang yang meregang nyawa sebanyak 131 jiwa. Miris memang, tragedi yang seharusnya tak terjadi malah jadi kenyataan. Bermula pada pertandingan Liga 1 tanggal 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, antara Arema Vs Persebaya dengan menunjukkan hasil akhir yakni 2-3. Di mana pasca laga lanjutan tersebut, oknum suporter Arema FC nekat masuk ke lapangan. Ketika wasit meniupkan peluit panjang tanda pertandingan berakhir. Dari situ tragedipun terjadi, banyak seporter Arema terlibat kericuhan dengan petugas keamanan. Hingga aparat kemanan memilih untuk menembakkan gas air mata. 

Dari peristiwa tersebut, pastilah akan menimbulkan trauma dan duka yang mendalam bagi mereka yang ada di sana maupun dunia persepakbolaan sendiri. Tak sedikit dari mereka yang mengalami luka – luka hingga hilang nyawa. Bebera korban di peristiwa itu mengungkapkan banyak fakta. Salah satunya adalah seorang pemuda yang bernama Muhammad Riyadi Cahyono. 
Menurutnya pada saat kejadian ia ikut turun ke lapangan, untuk menyampaikan protes atas kekalahan Arema FC. Namun perlakuan yang kurang enak yang ia dapatkan. Petugas yang saat itu berada di sana memukulnya dengan tak manusiawi. Bahkan menembakkan gas air mata ke suporter. Menurutnya, gas air mata tersebut ditembakkan ke arah papan skor dan di luar stadion. Hal tersebut membuat banyaknya suporter sesak nafas hingga jatuh kesakitan. (Republika.co.id, 02/10/2022)

Dari banyaknya peristiwa naas yang terjadi di kancah persepakbolaan Indonesia, membuktikan bahwa fanatisme golongan adalah hal yang buruk. Terlebih lagi kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan kali ini adalah bukti nyata, bahwa sistem persepakbolaan di Indonesia belum tertata dengan maksimal. Baik tata kelola, menejemen, sistem keamanan maupun keterlibatan negara dalam menjaga dan melindungi rakyatnya.  

Sikap fanatisme golongan akan membuat mereka keras kepala terhadap suatu hal yang bahkan mereka anggap benar bagi diri sendiri ataupun golongannya. Bahkan bisa jadi mengabaikan semua fakta yang bertentangan dengan keyakinannya dan golongan / kelompok. Mereka menganggap apa yang mereka junjung harus selalu benar, bahkan jika golongan mereka salah mereka tak mau tahu akan hal tersebut. Sikap seperti inilah yang dimiliki oleh para suporter sepakbola di Indonesia. Padahal dari hal tersebut, banyak timbul kerusuhan pada saat pertandingan sepak bola. 

Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Penggunaan gas air mata yang sejatinya dilarang oleh Federation International de Football Association (FIFA) tetap saja menjadi solusi untuk menangani masalah. Naasnya solusi tersebut bukan solusi yang solutif. Namun solusi yang menimbulkan malapetaka, yakni hilangnya korban jiwa. Dan juga sikap aparat yang tak manusiawi ketika mengamankan peristiwa tersebut. Tragedi ini tak akan terjadi ketika fanatisme tak menjadi acuan dan aparat bertindak tepat dalam mengatasi persoalan.

Dalam Islam sikap fanatisme golongan disebut dengan Ashabiyah. Secara bahasa, Ashabiyah adalah kata yang mengandung arti saling menjaga dan melindungi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan makna dari Ashabiyah tersebut. 

Sebuah riwayat dari Putri Watsilah bin Al-Asqa’, ia mendengar Ayahnya berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, apa itu Ashabiyah?” Rasul menjawab: “Engkau menolong kaummu dalam atas kezaliman yang dilakukan.” (HR. Abu Dawud)

Dari hadist tersebut dapat kita peroleh bahwa Ashabiyah adalah fanatisme golongan yang membabi buta terhadap suku, kelompok, golongan maupun bangsa. Dan meletakkannya di atas agama. Padahal agamalah yang seharusnya menjadi parameter segala urusan, bukan malah dikesampingkan lantaran alasan solidaritas. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang adanya perilaku Ashabiyah. 

“Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada Ashabiyah (Fanatisme Golongan), dan bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah (Fanatisme Golongan), dan bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah (Fanatisme Golongan).” (HR. Abu Dawud).

Di samping itu negara harus berperan penting dalam memberikan rasa aman bagi setiap rakyatnya. Bahkan ketika mereka menikmati setiap hiburan yang disediakan, negara harus menjadi penjaga serta waspada terhadap hal – hal yang tidak diinginkan. Dalam Islam negara berperan sebagai pelindung. Memberikan rasa aman bagi warganya, dengan aparat keamanan yang siap mengayomi dan memberi perlindungan sepenuh hati. Aparat keamanan digaji sesuai dengan kapasitasnya. Hal ini dilakukan agar aparat bekerja dengan sepenuh hati. Di samping itu, nuansa keimanan selalu di bangun bahkan ditumbuhkan semenjak dini. Sehingga terciptalah rasa saling melindungi diantara keduanya. 

Negara juga memberikan sanksi berat kepada mereka yang melakukan pelanggaran. Tak pandang bulu, setiap mereka yang melakukan kesalahan pasti akan ditindak tegas tanpa memandang status. Ketersesuaian peraturan pasti akan diberlakukan berkaitan dengan setiap kegiatan yang melibatkan banyak orang. Sehingga terciptalah keadaan yang damai bagi setiap warga negara. Waalahu a'lam bishawwab

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: