Headlines
Loading...


Oleh. Firda Umayah

Heri, tak dapat mengucapkan sepatah pun. Matanya terbelalak melihat layar lebar yang ada didepannya. Napasnya sulit ia rasakan.
Tubuhnya terbujur dengan kaki kiri terangkat ke atas.

Alat pacu jantung nampak sangat lemah. Hampir tak mendeteksi detak jantung Heri. Ia pun merasakan napasnya kini berada diujung tenggorokan. Saat kaki kirinya turun kembali perlahan. Saat itulah terdengar suara nyaring.

Heri melihat dokter dan perawat memegang denyut nadi tangannya. Ia cemas dengan apa yang terjadi. Namun ia tak dapat mengucapkan sepatah kata pun kepada keduanya.

Dokter menggelengkan kepalanya. Heri seakan tak percaya. Ia melihat sosok pemuda berkumis tipis didepannya. Telah terbujur kaku tak berdaya.

Terdengar suara debat dari arah belakangnya. Nampak dua sosok hitam yang sangat besar. Heri terjatuh kebelakang. Inilah ketakutan terbesar dalam hidupnya.

Dua sosok itu seperti berdebat. Heri tak dapat berdiri tegak. Bayangan buruk ada didalam benaknya. Dia yakin bahwa ia tak akan selamat.

Salah satu sosok menarik tangannya. Entah apa yang diinginkannya. Heri diangkat keatas tinggi mengudara. Lalu seketika itu juga dihempaskan ke bumi sekencang-kencangnya.

Tubuh Heri terkejut hingga ia terbangun dari tidurnya. Tubuhnya gemetar, tangisnya pecah seketika. Dilihatnya ruangan disekelilingnya. Rupanya ia masih berada dikamarnya.

Heri segera beranjak dari kasurnya. Dia bersujud sembari memohon ampun pada Allah Swt. Entah nyata ataukah mimpi yang ia rasakan. Tapi yang jelas apa yang dia rasakan begitu sakit baginya.

Heri masih meraung meratapi dirinya. Air mata terus membanjiri tubuhnya. Teringat semua akan kesalahannya. Teringat semua atas dosa kepada orang tuanya.

Suara tangis Heri memecah seisi rumah. Ibu yang pulang dari pasar segera berlari ke kamar anaknya. Dia segera memeluk tubuh Heri yang lemas tak berdaya. Heri pun segera merangkul sembari bersimpuh kepada ibunya.

"Maafkan Heri, Bu." Ucap Heri terbata-bata.

Ibu Heri lantas mengusap punggung anaknya. Hingga tangis Heri mereda. Ibu meminta Heri menceritakan apa yang ia rasakan. Heri pun menceritakan kejadian yang baru saja ia rasakan. Mungkin inilah cara Allah menegur dirinya, yang sering lupa dan lalai akan semua perintah Allah.

Hari itu, tepat pertengahan Rabiul Awal, Heri kembali menunaikan shalat. Kali ini ia shalat zuhur berjamaah bersama ibunya. Heri bertekad kepada dirinya. Bahwa ia akan memperbaiki segalanya.

Heri adalah pemuda berusia 21 tahun. Selepas lulus sekolah, ia lebih suka nongkrong bersama teman-temannya. Maklum, Heri belum bekerja. Meski ia lulus SMK, mencari pekerjaan begitu sulit dilakukan.

Heri banyak menghabiskan waktunya berkumpul dengan teman yang senasib dengannya. Ibunya yang merupakan pedagang nasi pecel jarang ia bantu. Karena pada pagi hari ia masih tertidur lelap. 

Heri sebenarnya anak yang baik. Namun akibat salah memilih teman, ia menjadi pemuda yang mudah marah. Tak jarang ia membentak ibunya. Terlebih lagi ibunya telah bercerai dengan ayahnya sejak ia duduk di bangku SD.

Pasca kejadian spiritual yang ia alami, Heri bertekad untuk menjadi yang lebih baik. Ia tidak ingin menyia-nyiakan hidupnya. Heri kini rajin shalat berjamaah di masjid. Bahkan sering menjadi muadzin.

Meski masyarakat sempat mencibirnya, ia sama sekali tak peduli. Ia terus memperbaiki diri dan turut bekerja meski menjadi kuli bangunan. Hal ini dia lakukan demi membantu ekonomi keluarganya. Demi ibu dan adik perempuannya yang masih duduk di bangku sekolah menengah.

Baca juga:

0 Comments: