OPINI
Keadilan Berbasis Viralitas: Solusi atau Masalah?
Oleh. Novi Ummu Mafa
SSCQMedia.Com- Penegakan hukum adalah pilar utama dalam menciptakan keadilan sosial yang sejati. Namun, dalam sistem demokrasi sekuler yang dipadukan dengan kapitalisme, prinsip keadilan sering kali tereduksi menjadi produk konsumsi media. Fenomena "no viral, no justice" menjadi cermin getir dari sistem yang mengutamakan persepsi publik di atas substansi keadilan itu sendiri.
Hal ini memang nyata adanya, di mana beberapa kasus baru ditangani serius setelah menjadi viral di media sosial. Misalnya, kasus pembunuhan berencana Vina Cirebon, serta kasus yang saat ini hangat diperbincangkan tentang penganiayaan karyawan toko roti di Jakarta Timur yang baru ditangani polisi setelah menjadi sorotan publik. Padahal pelaporan kasusnya sudah dilakukan oleh korban pada bulan Oktober lalu. Namun, kasus ini baru polisi selidiki pada bulan Desember usai unggahan korban viral (tempo.co, 19/12/2024).
Fenomena ini bukan hanya kegagalan teknis, melainkan manifestasi dari cacat struktural dalam sistem demokrasi dan kapitalisme sekuler.
Fenomena “No Viral, No Justice”
Dalam sistem demokrasi kapitalistik, keadilan sering kali menjadi komoditas yang hanya “dibeli” oleh perhatian publik. Banyak kasus-kasus besar yang mendapatkan perhatian serius oleh aparat penegak hukum di Indonesia dimulai dari viralitas di media sosial. Sementara itu, kasus-kasus yang tidak menarik perhatian publik sering kali terabaikan, terlepas dari urgensi atau bobot keadilannya.
Kasus pekerja toko roti ini mencerminkan pola sistemik, laporan polisi yang tidak diproses hingga media sosial menyoroti kasus tersebut. Apakah keadilan hanya ada bagi mereka yang mampu menarik perhatian massa? Sistem ini menciptakan hirarki keadilan berdasarkan popularitas, bukan berdasarkan prinsip hukum atau moral. Dalam konteks kapitalisme, media sosial menjadi alat utama dalam "memasarkan" keadilan, di mana pihak yang mampu membayar lebih dalam bentuk modal sosial, ekonomi, atau politik akan mendapatkan prioritas.
Platform media sosial kini berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menyampaikan opini, mengawasi, dan mengkritisi penegakan hukum. Ketika sebuah kasus dinilai tidak adil atau terabaikan oleh aparat, viralitas sering kali menjadi alat atau solusi akhir untuk memperoleh keadilan. Namun, ketergantungan pada viralitas ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang objektivitas dan konsistensi penegakan hukum.
Dalam konteks ini, penting bagi sistem penegakan hukum untuk tidak bergantung pada tekanan opini publik semata, tetapi memastikan bahwa setiap laporan masyarakat ditangani dengan adil dan profesional, tanpa diskriminasi. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan yang diusung dalam berbagai sistem hukum, termasuk dalam perspektif Islam yang menekankan penegakan hukum yang berbasis ketakwaan dan independensi institusi hukum.
Kegagalan Sistem Demokrasi Kapitalistik
Dalam demokrasi kapitalistik, hukum sering kali dikendalikan oleh dua kekuatan besar, yakni modal dan opini publik. Polisi, sebagai institusi penegak hukum, bekerja di bawah tekanan sistem ini. Alih-alih berfungsi sebagai penjaga keadilan yang netral, mereka sering kali terjebak dalam dinamika politik dan ekonomi.
Kasus ini mencerminkan kegagalan mendasar dari demokrasi kapitalistik, di mana keadilan direduksi menjadi sekadar spektakel publik. Sistem demokrasi kapitalis tidak mendorong penegakan hukum berbasis keadilan substantif, melainkan hanya keadilan prosedural yang sangat bergantung pada tekanan opini publik. Selain itu, institusi penegak hukum sering kali lemah dan rentan terhadap korupsi, dengan banyak laporan masyarakat diabaikan akibat keterbatasan sumber daya atau karena prioritas diberikan kepada kasus yang memberikan keuntungan politik atau ekonomi. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan masyarakat, justru berubah menjadi medan kapitalisme baru, di mana perhatian publik diperjualbelikan kepada mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan sosial.
Solusi Sistem Islam
Dalam sistem Islam, keadilan tidak boleh bergantung pada viralitas atau opini publik, tetapi didasarkan pada prinsip qadi (hakim) yang adil, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada Allah Swt. Penegakan hukum dalam Islam berlandaskan ketakwaan, di mana setiap individu, termasuk aparat penegak hukum, diwajibkan bertindak berdasarkan ketakwaan kepada Allah Swt. Polisi dan qadi bertugas melayani masyarakat tanpa pandang bulu atau diskriminasi, dengan pertanggungjawaban yang tidak hanya berlaku di dunia, tetapi juga di akhirat.
Ayat tentang keadilan dalam hukum Islam, telah tertuang dalam firman Allah Swt.:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. An-Nisa: 58).
Ayat ini menegaskan pentingnya keadilan dalam memutuskan perkara, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. Islam memerintahkan agar keadilan ditegakkan bahkan terhadap musuh atau orang yang dibenci, karena keadilan adalah inti dari syariat hukum Islam.
Selain itu, institusi hukum dalam Islam bersifat independen dan bebas dari pengaruh kapital maupun tekanan politik. Qadi bekerja sesuai hukum syariat yang telah ditetapkan, bukan berdasarkan desakan opini publik. Islam juga mewajibkan adanya mekanisme pengawasan yang transparan melalui institusi hisbah (pengawasan publik), yang memastikan setiap laporan masyarakat direspon dengan cepat dan adil. Lebih dari itu, hukum dalam sistem Islam ditegakkan secara tegas dan cepat tanpa menunggu viralitas atau tekanan publik, sehingga setiap laporan masyarakat ditangani dengan adil dan tanpa diskriminasi.
Membangun Keadilan yang Hakiki
Fenomena "no viral, no justice" adalah cermin cacat struktural dalam demokrasi kapitalistik. Sistem ini tidak dirancang untuk menegakkan keadilan sejati, tetapi hanya untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir elite. Dalam sistem ini, keadilan bukanlah hak, melainkan privilese yang diberikan kepada mereka yang mampu menarik perhatian publik atau memiliki kekuatan modal.
Islam memberikan solusi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga fundamental, dengan membangun sistem hukum yang berbasis ketakwaan, independensi, dan keadilan yang hakiki. Keadilan dalam Islam bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, melainkan amanah yang harus ditegakkan di bawah hukum Allah Swt. Untuk mewujudkan keadilan sejati, perubahan sistemik ke arah penerapan syariat Islam adalah kebutuhan mendesak, bukan pilihan. [An]
Baca juga:

0 Comments: