Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Fenomena membludaknya antrean jemaah haji saat ini, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham sekuler dan kapitalis. Paham-paham ini mengubah cara pandang masyarakat dan pemerintah terhadap ibadah haji, sehingga berdampak pada proses pengelolaannya. Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) akan melakukan audit menyeluruh terhadap daftar antrean jemaah haji yang mencapai 5,5 juta orang guna memastikan data yang akurat sekaligus mengevaluasi kemungkinan untuk memperpendek masa tunggu. Masa tunggu di Indonesia bervariasi menurut provinsi dan kabupaten. Misalnya, Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan, memiliki masa tunggu hingga 47 tahun. Sementara itu, di Maluku Barat Daya sekitar 11 tahun.
BP Haji juga berkomitmen akan menjamin transparansi dan bebas korupsi dengan merekrut mantan penyidik KPK serta aparat penegak hukum ke dalam organisasinya. Langkah strategis ini diambil di tengah sorotan publik dan penyelidikan dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan haji Kemenag tahun 2024 oleh KPK, termasuk laporan masyarakat dan Front Pemuda Anti Korupsi (nasional.kompas.com, 19/06/2025)
Berbagai praktik korupsi tersebut tidak muncul secara kebetulan, melainkan kerap dipicu oleh tekanan sistem kehidupan dan peluang yang ada. Dalam konteks ini, sistem kapitalisme yang menempatkan orientasi keuntungan ekonomi sebagai prioritas utama menjadi salah satu penyebab utama permasalahan dalam pengelolaan ibadah haji masa kini. Ketika orientasi bisnis dan keuntungan materi menjadi prioritas, aspek pelayanan umat dan kemuliaan ibadah cenderung terabaikan.
Di saat yang sama, sekularisme menimbulkan pemisahan ketat antara urusan agama dan negara, sehingga pengelolaan ibadah haji sering kali kurang memperoleh perhatian serius negara sebagai penyelenggara. Sementara individu-individu yang mampu secara ekonomi menganggap ibadah haji sebagai ajang flexing yang bebas dilaksanakan berulang kali demi mendapatkan validasi di tengah masyarakat.
Akibatnya, negara menghadapi tantangan besar dalam mengelola jemaah haji secara optimal. Sistem antrean yang seharusnya berlandaskan prinsip keadilan dan pemerataan justru menjadi bias akibat tumpang tindih dengan mekanisme pasar yang lebih mengedepankan kemampuan ekonomi individu. Misalnya, calon jemaah menunggu bertahun-tahun karena kuota terbatas dan sistem prioritas yang tidak transparan, sementara yang mampu secara ekonomi bisa berangkat lebih cepat, bahkan berulang kali. Ketimpangan ini menimbulkan ketidakadilan dan kekecewaan di tengah umat, bahkan membuka peluang korupsi karena ketidaktransparanan dan perbedaan akses yang disebabkan oleh perbedaan kemampuan ekonomi. Selain itu, nasionalisme yang kuat juga menghambat persatuan umat Islam, menyebabkan kesulitan seperti persyaratan visa, dan potensi masalah diplomatik yang dapat menghambat keberangkatan jemaah.
Pengelolaan Ibadah Haji di Masa Khilafah
Situasi pengelolaan ibadah haji saat ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam kerangka negara Islam atau Khilafah. Negara tersebut menerapkan sistem ekonomi Islam yang bertujuan menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Dalam sistem ini, prinsip-prinsip syariah mengedepankan keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan dalam setiap aktivitas ekonomi. Salah satu tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh umat Islam untuk menunaikan kewajiban agama mereka, termasuk ibadah haji, yang merupakan salah satu rukun Islam paling penting.
Terlebih dalam ajaran Islam, ibadah haji hanya wajib dilakukan sekali seumur hidup, dan pelaksanaannya merupakan bagian fundamental dari syariat yang mutlak menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin keadilan dan kualitas pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ï·º bahwa pemimpin (Imam atau Khalifah) adalah pengurus umat yang memikul tanggung jawab penuh atas kesejahteraan mereka.
Sejarah juga mencatat, bahwa para Khalifah di masa lalu senantiasa memberikan pelayanan terbaik kepada jemaah haji dari berbagai negeri, menjadikan mereka sebagai tamu Allah yang dilayani dengan sepenuh hati. Mereka mengutamakan prinsip keadilan dan pelayanan optimal dengan cara: menunjuk pengelola yang kompeten dan bertakwa; menetapkan ongkos naik haji (ONH) yang adil dan terjangkau; memberikan prioritas pelayanan menyeluruh (ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar) dengan menyediakan berbagai metode transportasi, mengatur kuota yang diprioritaskan untuk jamaah yang belum berhaji, serta menyediakan infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang memadai guna menjamin keamanan dan kenyamanan jemaah. Selain itu, penghapusan visa haji dan umrah bagi warga negara Khilafah mengukuhkan pandangan umat Islam sebagai satu kesatuan wilayah tanpa batas negara yang kaku, sehingga memudahkan perjalanan ibadah haji.
Lebih dari itu, sistem Islam tidak hanya menawarkan solusi ekonomi, tetapi juga menitikberatkan pembentukan karakter manusia secara komprehensif melalui pendidikan berbasis Islam. Pendidikan ini dirancang untuk melahirkan pribadi Islami yang berkarakter, memiliki kesadaran spiritual kuat, serta rasa takut kepada Allah Swt. sebagai landasan dalam menjalani kehidupan.
Demikianlah, kemuliaan dan kemudahan pelaksanaan ibadah haji dalam naungan Khilafah bukan sekadar komitmen, melainkan bukti nyata. Bahwa sebuah negara yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah Swt. mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan kesungguhan. Dan umat Islam dapat melaksanakan ibadah haji dengan lancar, sebab di dukung oleh pelayanan tulus dan sistem yang kokoh. Keteladanan ini seyogianya menjadi paradigma sekaligus contoh bagi pengelolaan ibadah haji masa kini, dengan mengintegrasikan kembali sistem Islam secara menyeluruh demi menjaga kesucian dan keberkahan ibadah nan agung ini.
Wallahu’alam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: