Ruang Digital yang Tidak Ramah bagi Generasi Muda
Oleh: Siti Nur Faridah, S.K.M
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Di tengah derasnya arus teknologi informasi, masyarakat kini berada pada dua pilihan besar. Di satu sisi, ruang digital membuka peluang luar biasa bagi pendidikan, ekonomi, dan dakwah. Namun di sisi lain, ruang ini justru menjadi sebab kerusakan yang menghantam generasi dengan dahsyat, senyap, dan sistematis.
Fenomena ini bukan sekadar kekhawatiran orang tua yang dianggap terlalu cemas, atau keluhan generasi tua yang dinilai tidak siap menghadapi digitalisasi. Kenyataannya jauh lebih serius. Konten merusak di ruang digital telah menjadi ancaman nyata bagi masa depan generasi muda Indonesia, khususnya generasi muslim (muslimahnews.net, 14 Desember 2025).
Selama beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan tumbuhnya portal penyaji konten negatif secara masif. Mulai dari pornografi, perjudian daring, pinjaman online, kekerasan, perundungan siber, konten ekstrem moderasi agama, hingga tindak kriminal seperti child grooming dan human trafficking. Ruang digital seolah menjadi hutan rimba tanpa hukum, tempat siapa pun bebas masuk dan bebas merusak.
Generasi yang Rapuh, Terbentuk Pelan tetapi Mematikan
Konten digital bukan sekadar hiburan. Ia memengaruhi cara berpikir, bersikap, memandang diri, bahkan cara beragama. Inilah bahaya yang paling serius. Konten negatif tidak hanya bersifat amoral, tetapi juga merusak struktur kepribadian generasi muda.
Anak-anak hari ini tumbuh dengan definisi “normal” yang bergeser secara ekstrem. Konten seksual dan pornografi dianggap wajar. Kekerasan dipandang sebagai hiburan. Candaan yang merendahkan orang tua dianggap lucu. Media akhirnya membentuk generasi yang tidak hanya rapuh secara moral dan lemah imannya, tetapi juga rapuh identitasnya, sebuah generasi dengan kepribadian terbelah.
Teknologi Maju, Negara Absen
Kita kerap mendengar narasi bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dicegah. Faktanya, ruang digital hari ini dikuasai oleh korporasi global yang agresif mendorong konten merusak demi keuntungan. Sementara itu, negara hanya hadir melalui peringatan moral dan imbauan edukatif yang terbukti tidak efektif.
Walaupun pemerintah berkali-kali mengumumkan pemblokiran situs judi daring, kenyataannya setiap hari selalu muncul situs baru. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan ribuan situs judi ditutup setiap bulan, tetapi tidak pernah benar-benar habis. Negara hanya mengandalkan literasi digital, kampanye moral, dan imbauan kepada orang tua, sementara serangan konten negatif berlangsung 24 jam sehari tanpa henti. Kondisi ini menjadi bukti kegagalan negara sekuler dalam melindungi generasi.
Islam Menempatkan Negara sebagai Ra’in dan Junnah
Dalam Islam, generasi adalah aset besar peradaban yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara. Rasulullah saw. menyebut pemimpin sebagai ra’in (penggembala) dan junnah (perisai). Jika negara sekuler memandang ruang digital sebatas pasar dan hiburan, Islam memandangnya sebagai amanah besar yang harus dikendalikan demi menjaga iman, akhlak, dan ketahanan generasi.
Khilafah menjaga generasi melalui beberapa mekanisme. Pertama, negara memiliki tujuan politik yang jelas untuk melindungi generasi. Negara tidak tunduk pada kepentingan asing, investor digital, atau tekanan lembaga internasional. Kepentingan rakyat menjadi prioritas utama.
Kedua, Khilafah mengelola teknologi canggih secara terpusat. Infrastruktur digital tidak diprivatisasi. Seluruh pengelolaan berada di tangan negara. Swasta boleh terlibat, tetapi berada di bawah aturan ketat pemanfaatan dan pengembangan.
Ketiga, Khilafah menerapkan syariat Islam secara kaffah. Praktik kejahatan digital yang ditoleransi dalam sistem sekuler akan dihapus hingga ke akarnya.
Negara dalam Islam tidak membiarkan konten merusak menyebar bebas. Sistem digital dibangun dengan prinsip tegas. Konten yang bertentangan dengan akidah, akhlak, dan syariat tidak akan lolos, bahkan pada level lalu lintas data internasional. Teknologi penyaringan mendalam, sistem pengamanan berbasis syariat, dan algoritma terpusat diterapkan.
Selain itu, Khilafah tidak menyerahkan ruang digital kepada korporasi asing. Negara membangun media sosial, mesin pencari, dan platform edukasi yang aman, syar’i, dan bebas dari kepentingan asing. Seluruh praktik kejahatan digital seperti judi, pornografi, riba digital, pinjaman online, prostitusi daring, serta konten yang merusak akidah dihapus total. Ruang digital diarahkan untuk meningkatkan literasi Islam, memperkuat karakter, dan memperluas dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Bayangkan kondisi bangsa ini 10 hingga 20 tahun ke depan ketika generasi yang hari ini rusak menjadi pemimpin, pejabat, pendidik, atau orang tua. Kerusakan moral akan menular dan mempercepat siklus degenerasi. Karena itu, tidak ada solusi efektif selain mengganti sistem dengan sistem yang mampu melindungi generasi secara menyeluruh.
Jika di masa lalu Islam mampu menghapus industri prostitusi, perjudian, dan perilaku menyimpang melalui syariat, maka di era digital pun Islam mampu melakukan hal yang sama, bahkan lebih efektif, karena teknologi berada di bawah kendali negara.
Sudah saatnya kita mengambil langkah besar. Membangun sistem yang menjaga generasi dari kerusakan permanen. Sistem yang tidak tunduk pada kapitalisme digital dan tidak permisif terhadap kemungkaran. Masa depan generasi terlalu mahal untuk dikorbankan oleh algoritma, dan syariat Islam terlalu mulia untuk tidak dijadikan solusi. [Rn]
Baca juga:
0 Comments: