Kegagalan Sistem di Balik Deforestasi dan Bencana Ekologi
Oleh: Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Indonesia berduka. Di penghujung November 2025, bencana banjir dan longsor menimpa beberapa wilayah di Pulau Sumatera. Di Provinsi Aceh, daerah yang terdampak antara lain Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Subulussalam, dan Lhokseumawe. Di Sumatera Barat, daerah yang terdampak yaitu Padang Pariaman, Tanah Datar, Kabupaten Solok, dan Kota Padang. Sementara di Sumatera Utara meliputi Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sibolga, Humbang Hasundutan, Padang Sidempuan, dan Pakpak Barat.
Banjir yang tergolong dahsyat ini menelan korban bukan hanya puluhan, tetapi mencapai ratusan jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa hingga 29 November 2025 jumlah korban meninggal dunia mencapai 303 orang. Korban hilang tercatat sebanyak 279 orang dan ratusan lainnya luka-luka. (new.detik.com, 30/11/2025)
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani, penyebab banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatera tersebut adalah fenomena siklon tropis Senyar yang mengakibatkan hujan terus-menerus pada 25 hingga 27 November dengan kondisi ekstrem. Situasi diperburuk oleh daya tampung tanah di wilayah setempat yang sangat terbatas. (nasional.kompas.com, 1/12/2025)
Di tengah kondisi bencana, banyak video diunggah masyarakat terdampak yang menggambarkan suasana saat banjir terjadi. Salah satu video memperlihatkan arus banjir yang menyeret berbagai bangunan dan gelondongan kayu yang dipotong rapi. Kayu tersebut jelas dipotong menggunakan mesin khusus, bukan secara manual atau tumbang oleh angin.
Pemandangan tersebut menguatkan dugaan adanya kerusakan fatal di hulu aliran sungai. Mustahil ratusan gelondongan kayu muncul hanya akibat curah hujan yang tinggi dan angin kencang tanpa adanya aktivitas penebangan. Begitu pula tidak mungkin air turun sedahsyat itu ke wilayah rendah apabila hutan di hulu masih terjaga.
Tapanuli Selatan, salah satu wilayah terdampak parah, dalam lebih dari tiga dekade kehilangan sekitar 46.640 hektare hutan alam. Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000 yaitu 26.223 hektare, dan pada 2000–2010 mencapai 10.672 hektare. Sejak 1990–2024, tercatat penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektare, perluasan kebun kayu eukaliptus 1.107 hektare, serta teridentifikasi 298 lubang tambang. (tempo.co, 30/11/2025)
Kawasan hutan alam tidak dapat digantikan fungsinya oleh kebun kelapa sawit, meskipun sawit memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada Januari lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan rencana peningkatan perluasan kebun sawit meskipun harus melakukan deforestasi. Menurutnya, rakyat tidak perlu khawatir karena sawit dan pohon hutan sama-sama menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen, sehingga deforestasi dinilai tidak akan mengundang bencana.
Perbedaan Hutan dan Kebun Kelapa Sawit
Hutan lindung berfungsi menjaga keseimbangan alam. Beragam pohon dan ekosistem di dalamnya mampu mencegah banjir dan longsor, menjaga kesuburan tanah, serta menjadi habitat flora dan fauna. Keanekaragaman hayati tidak mampu bertahan di kebun sawit yang hanya ditanami satu jenis vegetasi.
Perubahan hutan lindung menjadi kebun sawit terbukti meningkatkan risiko bencana ekologis. Wilayah yang dulu sejuk dan stabil secara hidrologis berubah menjadi kawasan dengan daya serap air rendah, suhu lebih tinggi, dan rentan erosi. Dampaknya dirasakan masyarakat dalam bentuk banjir bandang, kekeringan, hilangnya sumber pangan alami, dan punahnya habitat satwa.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebun kelapa sawit tidak dapat menggantikan fungsi hutan lindung. Pengembangan ekonomi melalui sawit tetap dapat dilakukan, namun harus dengan aturan ketat, perlindungan hutan tersisa, dan strategi pemanfaatan lahan berkelanjutan. Hutan lindung adalah fondasi stabilitas ekosistem dan kehidupan manusia jangka panjang.
Kapitalisme Merusak, Islam Solusi Tepat
Banjir bandang di Pulau Sumatera tidak hanya terjadi akibat fenomena siklon tropis Senyar, tetapi juga akibat kesalahan manusia dalam mengelola sumber daya alam. Deforestasi dan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dilakukan demi keuntungan ekonomi tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Inilah wajah kapitalisme.
Sistem ekonomi kapitalisme mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan kemaslahatan rakyat. Kolusi antara pejabat dan pemilik modal mudah terjadi, sehingga rakyat yang seharusnya menikmati kekayaan alam justru menjadi korban. Kapitalisme melahirkan keserakahan dan kerusakan.
Aceh, Padang, dan Medan kini merasakan pil pahitnya. Banjir dan longsor menyisakan kesedihan dan kematian, sementara pemilik modal telah lama menikmati keuntungan hasil eksploitasi dan meninggalkan luka mendalam bagi hutan-hutan Sumatera.
Dalam kapitalisme, pemilik modal diberi hak mengelola sektor kepemilikan umum, menyebabkan pemerintah tidak berdaya di bawah kekuasaan oligarki. Dalam Islam, kepemilikan umum tidak boleh diserahkan kepada swasta. Islam hanya memberi ruang bagi sektor milik pribadi yang tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Islam menegaskan bahwa kekayaan alam adalah milik rakyat, dikelola negara untuk kepentingan seluruh masyarakat. Pihak swasta hanya ditempatkan sebagai pendukung, bukan pengambil keputusan dan bukan penguasa sumber daya alam.
Semoga musibah di Sumatera membuka mata setiap pemimpin dan rakyat Indonesia. Kapitalisme selamanya tidak akan mampu menyejahterakan manusia. Pengelolaan sumber daya alam hanya akan berhasil jika menggunakan aturan dari Sang Pencipta alam, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:
0 Comments: