Ruang Digital Butuh Cara Pandang Cemerlang
Oleh: Nila Yustisa Paramitha, S.Ip.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com - Generasi Z dan Generasi Alpha merupakan penduduk asli dunia digital (digital native). Mereka tumbuh di era kemajuan teknologi digital dan terbiasa berinteraksi dengan internet serta perangkat digital dalam kehidupan sehari-hari.
Generasi yang lahir sejak 1997 ini memiliki tingkat kenyamanan yang tinggi terhadap teknologi. Mereka mampu mengakses informasi dengan mudah melalui layar gawai dan memproses berbagai informasi secara cepat.
Di balik keunggulan dalam akses teknologi dan keterampilan digital tersebut, Generasi Z dan Generasi Alpha justru menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif perkembangan dunia digital.
Berbagai persoalan pun bermunculan, mulai dari ketergantungan pada layar gawai, penurunan fokus otak, peningkatan stres, gangguan kesehatan mental, budaya negatif, penipuan, pornografi anak, terorisme, hingga perdagangan manusia. Kondisi ini mendapat perhatian serius dari para pengamat hingga akhirnya mendorong negara menerbitkan regulasi baru, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.
Aturan yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ini dinilai sebagai langkah bersejarah, mengingat masih sedikit negara yang memiliki regulasi khusus perlindungan anak di ruang digital. Menteri Komdigi, Mutia Hafidz, menyampaikan bahwa PP ini merupakan bentuk kolaborasi antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, termasuk anak-anak (Infopublik.id, 10 April 2025).
PP ini mulai dibahas pada Februari 2025, kemudian disahkan dan diumumkan oleh Presiden Prabowo Subiyanto pada 28 Maret 2025. Selanjutnya, pada 1 April 2025, aturan ini resmi berlaku dan diharapkan mampu menyelamatkan generasi muda dari bahaya ruang digital. Namun, Mutia Hafidz juga menegaskan bahwa meskipun telah disahkan, efektivitas pelaksanaan PP ini baru akan dioptimalkan pada tahun berikutnya sambil menunggu kesiapan platform digital (Teknologi.bisnis.com, 19 November 2025).
Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia kepada pihak Komdigi, meskipun tidak terdapat penolakan dari platform digital, PP ini masih menyisakan sejumlah catatan penting. Catatan paling menonjol adalah belum adanya standar teknis yang jelas terkait pengelolaan, verifikasi, dan audit data anak. Kondisi ini justru berpotensi membuka celah baru pelanggaran privasi, terutama jika platform mengumpulkan data sensitif seperti biometrik untuk verifikasi usia (CNBCIndonesia.com, 22 Oktober 2025).
Selain itu, PP ini dinilai belum menyentuh akar persoalan. Akibatnya, berbagai masalah mendasar belum mampu terjawab secara tuntas. Penyelesaian masalah yang hanya menyentuh aspek permukaan justru berisiko melahirkan polemik baru. Persoalan anak di ruang digital sejatinya hanyalah cabang dari masalah yang lebih besar, sementara akar persoalannya masih terabaikan.
Akar Masalah dan Solusinya
Penting untuk dipahami bahwa ruang digital hanyalah alat. Sebuah alat tidak dapat menciptakan nilai dengan sendirinya tanpa ada pihak yang mengarahkan dan mengaruskan nilai tersebut. Ruang digital bersifat netral dan akan berjalan seiring dengan algoritma serta tata nilai yang berkembang dalam suatu negara.
Ketika nilai yang diaruskan oleh sistem adalah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan, maka ruang digital pun akan sejalan dengan sistem tersebut. Dalam sekularisme, batasan antara yang boleh dan yang tidak menjadi kabur. Penentuan benar dan salah diserahkan kepada manusia, sementara standar manusia bersifat relatif dan bebas. Akibatnya, ruang digital menjadi medium penyebaran arus kebebasan dengan berbagai ide yang saling bertentangan karena perbedaan standar nilai.
Kondisi ini semakin diperparah dengan cara pandang kapitalistik. Kapitalisme memandang segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau cuan sebagai sesuatu yang layak dibenarkan, meskipun tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai agama maupun norma masyarakat.
Contohnya adalah praktik pinjaman daring berbunga. Negara yang berpijak pada kapitalisme menganggap pinjaman daring berbunga dan berizin sebagai sesuatu yang legal. Padahal, praktik tersebut membahayakan masyarakat, merugikan banyak pihak, bahkan diharamkan dalam agama. Namun, karena menghasilkan keuntungan berupa pajak, negara tetap membolehkannya.
Selama sekularisme dan kapitalisme dijadikan standar dalam bernegara, negara akan terus memiliki standar ganda dalam menilai suatu persoalan. Sesuatu yang baik akan ditinggalkan jika tidak menghasilkan cuan, sementara sesuatu yang buruk tetap dilakukan selama mendatangkan keuntungan. Kondisi ini menunjukkan adanya pembalikan nilai secara sistemik.
Dua pemikiran inilah yang sesungguhnya menjadi akar persoalan. Ruang digital hanya berperan sebagai pemicu dan penguat dari kondisi masyarakat yang telah rapuh akibat penerapan sistem nilai yang keliru oleh negara.
Tanpa kesadaran bahwa kesalahan terletak pada sistem kehidupan yang diterapkan melalui kebijakan negara, penyelesaian masalah hanya akan berputar pada persoalan cabang. Sekularisme dan kapitalisme justru memperparah kondisi tersebut. Masalah tidak pernah terselesaikan secara tuntas, bahkan akan terus bermunculan dengan wajah yang lebih modern.
Islam Menyajikan Solusi Kehidupan
Persoalan sistemik akibat penerapan cara pandang sekuler kapitalistik tidak dapat diselesaikan hanya dengan menambah aturan baru yang lahir dari paradigma yang sama. Kesadaran penguasa menjadi kunci utama. Penguasa harus menyadari bahwa keterjebakan dalam cara pandang sekuler kapitalistik justru akan menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang kehancuran.
Kesadaran ini harus diiringi dengan perubahan cara pandang terhadap kehidupan. Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam menyatakan:
"Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia. Agar manusia mampu bangkit, harus ada perubahan pemikiran secara menyeluruh, kemudian diganti dengan pemikiran lain."
Ketika pengambil kebijakan telah menyadari bahwa kesalahan terletak pada cara pandang terhadap kehidupan yang berimplikasi pada penerapan sistem, maka seorang pemimpin harus berani mengganti pemikiran yang usang dan rusak dengan pemikiran yang cemerlang.
Pemikiran cemerlang tersebut tidak lain adalah pemikiran yang bersumber dari wahyu Ilahi. Pemikiran ini memberikan batasan yang jelas tentang halal dan haram, mengaitkan sebab dan akibat secara detail terhadap perbuatan manusia, mampu menggerakkan kebaikan, serta mencegah munculnya kejahatan akibat buruknya karakter manusia. Semua itu dimiliki oleh Islam.
Islam adalah akidah yang memiliki seperangkat pemikiran komprehensif tentang kehidupan tanpa campur tangan hawa nafsu manusia. Islam menjadi cara pandang murni yang terbebas dari keserakahan sebagaimana dalam kapitalisme dan sekularisme.
Dengan perubahan paradigma ini, diharapkan negara mampu melahirkan kebijakan yang cemerlang, sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera, aman, dan terlindungi dari berbagai bahaya.
Wallahualam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: