Oleh: Dra. Rahma
(Praktisi Pendidikan)
SSCQmedia.com—Pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2025 menunjukkan bahwa sektor pinjaman daring (pinjol) tumbuh pesat. Total pembiayaan mencapai Rp 90,99 triliun, naik 22,16 persen secara year-on-year (yoy). Kenaikan signifikan terjadi pada peminjam usia muda yang melonjak hingga 763 persen (Bloomberg Technoz, 11 November 2025). Dibandingkan dengan kredit perbankan nasional, pertumbuhan pinjol tersebut hampir tiga kali lipat lebih cepat. OJK mencatat baki debet kredit perbankan mencapai Rp 8.162,8 triliun per September 2025, tumbuh 7,70 persen dibandingkan tahun lalu.
Namun, pada saat yang bersamaan, tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) atau kredit macet meningkat menjadi 2,82 persen, naik 0,22 poin persentase dari periode sebelumnya. Bahkan, sebanyak 22 penyelenggara pinjol tercatat memiliki TWP90 di atas 5 persen.
Peningkatan tunggakan pinjol dipicu oleh rendahnya literasi keuangan, termasuk pemahaman tentang risiko pinjol, khususnya di kalangan generasi muda. Selain itu, kondisi ekonomi pascapandemi dan gejolak global memperburuk kondisi masyarakat, terutama kelas menengah bawah. Maraknya PHK dan tingginya inflasi pangan memaksa sebagian masyarakat melakukan gali lubang tutup lubang, yakni meminjam uang untuk membayar utang lama. Kampanye gerakan gagal bayar juga turut mendorong kenaikan TWP90 yang pernah menyentuh 3,19 persen pada Mei 2025. Di sisi lain, tingginya perilaku konsumtif sebagian masyarakat membuat mereka memanfaatkan pinjol untuk kebutuhan nonproduktif dan memperpanjang siklus utang.
Masyarakat cenderung memilih pinjol karena proses pengajuannya cepat dan mudah dibandingkan perbankan. Kebutuhan darurat seperti biaya medis mendadak, pendidikan anak, atau perbaikan rumah, mendorong masyarakat mengambil jalan pintas meskipun bunganya jauh lebih tinggi. Ada pula yang menggunakannya karena memiliki riwayat kredit buruk atau berstatus tidak layak mendapatkan pinjaman (unbanked). Sebagian lainnya terjerat kecanduan judi online sehingga memanfaatkan pinjol sebagai sumber dana.
Namun, dampak negatif pinjol terus membesar. Secara ekonomi, bunga tinggi hingga 0,8 persen per hari ditambah denda membuat utang nasabah sering kali meningkat drastis di tengah penurunan pendapatan dan melonjaknya biaya hidup.
Kondisi ini berdampak pada penurunan daya beli dan menghambat pertumbuhan jangka panjang. Tingkat stres peminjam juga tinggi, bahkan mendorong sebagian nasabah memilih bunuh diri. Sejak 2022 hingga 2024, tercatat 26 kasus bunuh diri yang terkait tekanan penagihan pinjol.
Dari sudut pandang Islam, pinjol yang mengandung bunga (riba) jelas haram sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 275). Allah Swt. menyamakan riba dengan perang melawan Allah dan Rasul-Nya. Secara ekonomi, pinjol sangat zalim karena pemberi dana memperoleh pendapatan dari bunga tanpa menanggung risiko usaha. Pinjol konvensional juga bertentangan dengan akad qardhul hasan, yaitu pinjam-meminjam tanpa imbalan, yang bersifat tabarru atau kebajikan.
Dalam negara Islam, seluruh bentuk riba diharamkan, termasuk pinjaman negara melalui obligasi maupun pinjaman masyarakat kepada lembaga keuangan seperti pinjol. Islam mendorong keluarga dan masyarakat saling membantu melalui nafkah atau pinjaman tanpa bunga, serta menekankan kerja sama usaha berbasis syirkah, yaitu bagi hasil antara pemodal dan pekerja.
Pada tingkat negara, Baitulmal berperan krusial sebagai pengelola harta negara, termasuk menyalurkan bantuan sosial untuk kebutuhan dasar dan menyediakan modal usaha bagi pengangguran atau warga yang membutuhkan. Negara menumbuhkan budaya tolong-menolong dan mencegah berbagai bentuk eksploitasi, termasuk dengan melarang dan memberi sanksi tegas terhadap praktik riba.
Lalu bagaimana di negeri ini? Wallahu a’lam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: