Oleh: Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kududuk seorang diri, bertilawah. Aku masih ingat betul, saat itu adalah hari ke-8 Challenge ODOJ, ketika bacaanku sampai pada QS Al-An‘am ayat 162. Ada rasa yang berbeda ketika ayat itu kubaca, tidak seperti biasanya. Aku berusaha mentadabburi ayat tersebut, tidak sekadar melafalkan, tetapi mencoba menghadirkan hati sepenuhnya. Lalu kujadikannya sebuah catatan kecil agar aku dapat kembali membacanya dan mendalaminya di lain waktu, serta mengambil hikmah yang mungkin belum sepenuhnya tersingkap.
Aku melanjutkan tilawah dengan perlahan, ayat demi ayat, dengan tempo yang lebih tenang. Waktu terasa berjalan lebih lambat. Hingga akhirnya cahaya subuh mulai merayap di balik jendela. Ada rasa damai yang menyusup, meskipun tubuh mulai memberi tanda lelah. Aku menghentikan tilawah sejenak, bersiap menyambut panggilan salat.
Dalam salat itulah, ayat yang sama terlantun kembali di lisanku. Getar itu kembali kurasakan, lebih kuat dan lebih nyata. Seakan aku kembali terhubung dengan QS Al-An‘am ayat 162, bukan hanya melalui suara, tetapi melalui hati yang benar-benar hadir dan tunduk.
Selesai salat, langkahku kembali ke ruang tempatku bertilawah. Ada kebiasaan kecil yang selalu kulakukan sebelum benar-benar menghentikan aktivitas tilawah, yaitu membuka kembali catatan tadabbur. Catatan itu kubuka lagi. Kali ini, aku benar-benar terpesona. Bacaan Surah Al-An‘am ayat 162 menggetarkan jiwaku. Dadaku terasa sesak, hatiku berdebar, dan tanpa kusadari air mataku menetes pelan, seperti rindu yang akhirnya menemukan jawabannya.
Ayat itu kubaca kembali berulang-ulang. Seakan baru pertama kali kutemui, dan aku tidak ingin ia berlalu begitu saja. Aku ingin ayat itu melekat kuat dalam ingatan terdalamku. Aku berusaha merenungi maknanya lebih dalam. Betapa luas dan dalam pesan yang kudapatkan. Seolah ayat itu tidak hanya lewat di bibirku, tetapi mengetuk hatiku dengan sesuatu yang halus, namun kuat, seperti sapaan lembut yang selama ini ada, tetapi baru benar-benar kusadari kehadirannya.
Sebenarnya, aku sudah sering membaca dan memahami ayat ini. Aku pun sadar bahwa ia adalah sebuah ikrar, pernyataan total seorang hamba kepada Rabb-nya. Namun kali ini terasa sangat berbeda. Kali ini aku menemukan getarnya. Getar yang membuat suasana di sekitarku seakan memudar. Tidak ada suara lain, tidak ada hiruk pikuk pikiran tentang dunia. Yang ada hanyalah aku dan ayat itu, berdiri berhadapan dalam keheningan yang sarat makna.
Sekali lagi kubaca dengan penuh penghayatan:
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”
Untaian kata itu terasa seperti cahaya yang menembus ruang paling dalam diriku, ruang yang selama ini dipenuhi tumpukan rutinitas, target-target, dan agenda harian yang terkadang terasa kosong makna. Aku tersadar betapa sering aku menyusun langkah tanpa benar-benar berhenti untuk bertanya, untuk siapa semua ini dan untuk apa seluruh jerih payah ini.
Bukan berarti aku tidak menyadari bahwa semua yang kulakukan adalah untuk Allah. Namun aku jujur pada diriku sendiri, terkadang kesadaran itu meredup, terutama ketika target-target pekerjaan menyita hampir seluruh waktu dan pikiranku. Rutinitas yang berulang menimbulkan kejenuhan. Lelah mendera jiwa dan raga. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk segera selesai, bahkan sesekali keluh pun lolos dari bibir, padahal seharusnya tertahan dalam sabar dan syukur.
Ketika ayat itu kuucapkan kembali, ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Semangat yang sempat memudar perlahan bangkit kembali. Seolah ada tangan tak terlihat yang menegakkan punggungku yang sempat membungkuk oleh lelah dan membenarkan kembali arah langkah yang nyaris menyimpang.
Aku menarik napas perlahan. Mataku menelusuri huruf-hurufnya lagi, kali ini dengan hati yang jauh lebih jujur. Ada rasa hangat dan getir sekaligus. Hangat, karena aku merasa Allah sedang berbicara langsung kepadaku, menegur tanpa menyakiti. Getir, karena aku sadar mungkin selama ini aku sering berjalan dengan niat yang kabur, kadang ingin diakui, kadang ingin dipuji, kadang hanya ingin terlihat kuat dan mampu.
Ayat ini seperti menarikku kembali ke pusat makna hidup. Seakan Allah dengan kelembutan-Nya berkata, “Luruskan kembali segalanya. Hidupmu bukan milikmu. Engkau hanya berjalan membawa amanah-Ku.”
Ada ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ada perasaan dimiliki, dijaga, dan dibimbing. Pada saat yang sama, tumbuh tekad perlahan di dalam dadaku, tekad untuk menjalani setiap salat, setiap langkah, dan setiap ibadah, bukan lagi sebagai rutinitas atau kewajiban semata, melainkan sebagai persembahan yang tulus.
Ayat itu menjadi titik jeda dalam hidupku. Titik ketika aku berhenti sejenak dan menoleh ke perjalanan yang telah kulalui. Apa yang telah kulakukan selama ini, apa yang masih perlu kuperbaiki, dan ke mana sebenarnya arah langkahku ke depan.
Pada setiap pertanyaan itu, ayat ini menjadi jawabannya.
Hari itu, pada Challenge ODOJ hari ke-8, aku tidak hanya membaca ayat Al-Qur’an. Aku menemukan arah. Aku menemukan pengingat. Aku menemukan satu ayat yang seakan Allah takdirkan menjadi penopang langkahku, menjaga niatku tetap lurus, menguatkanku di saat lelah, dan mengingatkanku bahwa seluruh hidup ini, dari awal hingga akhir, hanyalah untuk-Nya.
Kotabumi, 14 Desember 2025
[Rn]
Baca juga:
0 Comments: