Headlines
Loading...
Pengorbanan Ibu yang Tak Pernah Usai

Pengorbanan Ibu yang Tak Pernah Usai

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Ada cinta yang tumbuh tanpa suara, bekerja dalam diam, dan bertahan tanpa syarat. Cinta itu bernama pengorbanan ibu. Ia dimulai jauh sebelum kita mengenal dunia, bahkan sebelum kita mampu mengucapkan satu kata pun. Saat kita masih berupa kehidupan kecil di dalam rahim, ibu telah lebih dahulu belajar menahan sakit, lelah, dan cemas. Mengandung bukanlah perkara ringan. Setiap hari tubuhnya berubah, tenaganya terkuras, dan tidurnya sering tak nyenyak. Namun semua itu dijalani dengan ikhlas, tanpa keluhan yang ingin didengar.

Allah Swt. mengingatkan kita tentang beratnya pengorbanan ini dalam firman-Nya:

Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.”
(QS. Luqman: 14)

Ayat ini tidak sekadar menjelaskan proses biologis, tetapi menegaskan nilai pengorbanan yang berlapis. Lemah yang bertambah-tambah, bukan berkurang. Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, ibu terus menguatkan diri demi satu harapan agar anaknya lahir dengan selamat.

Ketika saat melahirkan tiba, rasa sakit mencapai puncaknya. Nyawa seakan dipertaruhkan. Namun begitu tangis bayi terdengar, seluruh sakit itu seolah sirna. Ibu tersenyum, memeluk, dan mulai mencintai makhluk kecil yang kelak menyita seluruh hidupnya. Sejak saat itu, pengorbanan tidak pernah benar-benar berhenti.

Malam-malam panjang tanpa tidur, pagi yang dimulai dengan kelelahan, serta hari-hari yang diisi mengurus anak, rumah, dan keluarga, semuanya dijalani dengan kesabaran. Bahkan ketika anak-anak tumbuh dewasa dan memiliki dunia serta urusan sendiri, ibu tetap hadir. Cintanya tidak menyusut oleh waktu.

Ketika ibu memberi uang, bantuan, atau apa pun kepada anaknya, ia tidak pernah menghitung. Tidak ada catatan dan tidak ada batasan. Semua diberikan dengan ikhlas, tanpa pamrih. Sebaliknya, sering kali kitalah yang lalai. Ketika anak meminjamkan uang kepada ibu, justru anak yang terus menagih sebelum sempat dibayar. Astaghfirullah. Betapa sering hati ini lupa bahwa apa pun yang kita miliki hari ini sejatinya berakar dari pengorbanan orang tua.

Rasulullah saw. mengingatkan dengan tegas tentang siapa yang paling berhak atas bakti kita. Ketika beliau ditanya tentang hal itu, jawabannya berulang dan tidak berubah, yaitu ibu. Tiga kali ibu disebut, barulah kemudian ayah. Ini bukan tanpa alasan, karena dalam setiap tahap kehidupan anak, ibu hadir lebih dahulu, lebih lama, dan lebih banyak berkorban.

Kesadaran ini sering datang terlambat. Kita baru benar-benar memahami besarnya jasa ibu ketika kita sendiri menjadi orang tua. Saat merasakan sakitnya melahirkan, letihnya mengurus anak, dan beratnya mengatur rumah tangga, barulah kita mengerti. Saat itulah hati berbisik lirih, “Ternyata begini yang ibu rasakan dahulu.” Penyesalan pun hadir, mengingat sikap yang pernah menyakiti, kata-kata yang pernah meninggi, dan perhatian yang sering kita tunda.

Pengorbanan ibu kerap hadir dalam bentuk yang nyaris tak terlihat. Ia menunda keinginannya sendiri agar kebutuhan anak terpenuhi. Pakaian yang dikenakannya sederhana, bukan karena tidak ingin yang lebih baik, tetapi karena ia mendahulukan seragam sekolah anaknya. Makanannya sering tersisa, bukan karena tidak lapar, melainkan karena memastikan anak-anaknya kenyang terlebih dahulu. Bahkan ketika tubuhnya sakit, ibu kerap berkata, “Tidak apa-apa,” agar tidak merepotkan siapa pun, padahal lelah itu disimpannya sendiri.

Ibu juga menjadi tempat pulang paling setia. Ketika dunia terasa keras dan tidak ramah, ibu membuka pintu dengan senyum dan doa. Ia mendengarkan keluh kesah anak-anaknya tanpa menghakimi, meski hatinya sendiri sedang penuh. Dalam diam, ia belajar kuat agar anak-anaknya merasa aman. Tak jarang, air matanya jatuh di sepertiga malam, saat semua terlelap, agar esok hari ia bisa kembali tersenyum.

Allah Swt. memerintahkan agar kita memperlakukan orang tua dengan penuh kelembutan:

Maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah engkau membentak mereka, tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(QS. Al-Isra’: 23)

Ayat ini mengingatkan bahwa bakti tidak hanya berupa materi, tetapi juga sikap dan tutur kata. Semoga usia yang Allah berikan kepada ibu menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri, membalas pengorbanannya dengan cinta, dan menjemput rida Allah melalui rida seorang ibu.

Selama ibu masih ada, pintu bakti belum tertutup. Selama doa masih dapat dipanjatkan dan tangan masih bisa menggenggam tangannya, kewajiban itu tetap hidup. Berbakti kepada ibu dan ayah bukan tugas musiman, melainkan amanah seumur hidup. Jasa mereka tidak akan pernah tergantikan, tidak dengan harta, tidak dengan kedudukan, bahkan tidak dengan seluruh waktu kita.

Semoga Allah Swt. melembutkan hati kita untuk terus berbakti, menjaga ucapan, melapangkan perhatian, dan menghadirkan cinta dalam setiap sikap. Karena sejatinya, rida Allah bergantung pada rida orang tua. Dan di antara keduanya, pengorbanan ibu adalah cahaya yang tak pernah padam. [My]

Baca juga:

0 Comments: