Headlines
Loading...

Oleh: Annisa Yuliasih
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Di sebuah rumah lama berwarna putih dengan arsitektur bergaya Belanda, tinggallah sosok yang kelak disebut sebagai bidadari tanpa sayap. Rumah itu berada di tepi jalan desa, dengan halaman yang sangat luas. Di halaman itulah ia kerap bercocok tanam, menanam aneka buah-buahan, umbi-umbian, serta berbagai tanaman sayur.

Rumah peninggalan zaman Belanda itu terletak di atas sebuah bukit. Lingkungannya asri, dikelilingi tumbuhan perdu yang menghijau, barisan pohon cemara, serta pemandangan laut biru yang langsung terlihat dari depan rumah. Rumah itu menyimpan ketenangan sekaligus kenangan. Di sanalah bidadari itu memulai tugas hidupnya dan mengemban amanah yang mulia.

Ia berasal dari seorang gadis ibu kota yang terbiasa hidup di kota metropolitan dan berkarier di sebuah perusahaan asing. Namun, amanah besar datang menghampiri. Demi pengabdian kepada suami, ia meninggalkan hiruk pikuk kota dan ikut menuju pulau di ujung timur negeri ini, negeri yang dahulu disebut Zamrud Khatulistiwa.

Perpindahan dari kota besar menuju desa yang sepi dengan penerangan terbatas, infrastruktur jalan yang belum memadai, serta sarana transportasi yang minim, tak pernah membuatnya mengeluh. Untuk bepergian ke kota atau berbelanja kebutuhan, ia harus menunggu mobil kantor bersama para ibu lainnya karena tidak tersedia kendaraan umum. Kondisi jalan pun menuntut pengemudi yang benar-benar berpengalaman.

Saat hamil besar, ia harus selalu terbang ke ibu kota karena setiap proses kelahiran anak-anaknya harus melalui tindakan operasi. Semua dijalani dengan kesabaran. Hingga akhirnya, tiga anak hadir mewarnai hari-harinya.

Hari demi hari, ia dan anak-anaknya melewati malam-malam yang sepi dan gelap. Penerangan hanya berasal dari rumah-rumah penduduk. Suara serangga, burung hantu, dan lolongan anjing bersahutan mengiringi senja menuju malam. Debur ombak dari pantai terdengar jelas, menambah kesyahduan suasana.

Tak jarang malam-malam itu dijalani tanpa kehadiran suami. Tugas pengabdian sang suami kepada negara dan masyarakat menuntutnya sering keluar masuk hutan dan wilayah terpencil. Meski demikian, tak tampak ketakutan di wajah bidadari itu. Wajahnya selalu memancarkan ketenangan, kedamaian, dan keceriaan. Padahal, kejadian ular masuk ke rumah atau orang mabuk yang menggedor pintu bukanlah hal asing. Semua dapat diatasi berkat bantuan para tetangga.

Ia selalu tersenyum, gemar bercanda, dan mudah tertawa. Kalimat yang sering terucap darinya masih terngiang hingga kini, “enjoy your life.”

Hari-hari pengabdian terus berjalan. Ia aktif dalam kegiatan para ibu, mengadakan pembinaan untuk meningkatkan kualitas berpikir dan keterampilan. Ia juga mengajar di sebuah taman kanak-kanak dekat rumah, kemudian mengajar di sebuah sekolah menengah atas negeri dan sekolah swasta Islam. Setiap pagi ia berangkat dengan angkutan umum untuk mengajar di sekolah negeri, dan sore hari mengajar di sekolah swasta. Anak bungsunya kerap diajak serta, duduk tenang di bangku paling belakang sambil menggambar.

Untuk menambah pendapatan keluarga, ia juga berprofesi sebagai perias pengantin. Pekerjaan itu sering membuatnya pulang hingga larut malam. Sesampainya di rumah, ia masih harus menata dan menjemur pakaian pengantin sebelum akhirnya beristirahat. Beberapa kamar kosong di rumahnya pun sempat disewakan sebagai kos bagi mahasiswi. Keadaan benar-benar menempa ketangguhannya.

Hatinya lembut dan penuh kepedulian. Ia mudah tersentuh melihat kesulitan orang lain. Ia gemar membantu, berbagi, bahkan sengaja berbelanja di toko atau lapak yang sepi agar dagangan mereka laku. Ia lebih memilih pasar tradisional, karena baginya itu adalah cara menolong sesama yang sedang bertahan hidup. Ia pun penyayang terhadap hewan dan memelihara beberapa di rumahnya.

Hati mulianya selalu lapang memaafkan. Kepada siapa pun yang menyakitinya, mengecewakan, mencuranginya, atau mengambil haknya, ia memilih memaafkan dengan ikhlas. Ia hanya berkata, “Semua perbuatan ada balasannya, biarlah Allah yang membalas.”

Puluhan tahun hidup jauh dari kampung halaman dan sanak saudara membuat tempat tinggalnya menjadi rumah yang sesungguhnya. Tempat pulang dan merindu. Meski anak-anaknya telah dewasa dan merantau, ia tetap setia mendampingi suami tercinta. Ia menyaksikan perubahan demi perubahan kota tempat suaminya bertugas. Hingga di sanalah Allah memanggilnya kembali dalam keabadian.

Bidadari tangguh itu telah menuntaskan amanah hidupnya dengan sebaik-baiknya. Ia meninggalkan jejak keteladanan dan hikmah bahwa hidup adalah tentang kebermanfaatan. Bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, namun keikhlasan karena Allah akan menumbuhkan cinta di dalamnya.

Bidadari tanpa sayap itu adalah seorang ibu, yang membersamai keluarganya dengan keteladanan dan kasih sayang. Dialah ibuku.

Dan aku, anak bungsu yang selalu setia menemaninya ketika kakak-kakakku telah merantau, adalah pendengar setia cerita-cerita manisnya.

Semoga Allah Swt. meridai, mengampuni segala salah dan khilafnya, memberikan tempat terbaik selama masa penantian, dan memasukkannya ke dalam surga-Nya kelak. Aamiin ya Mujibassailin.

Sidoarjo, 17 Desember 2025

[My]

Baca juga:

0 Comments: