Oleh: Misdiyanti
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Cinta kepada Allah adalah bentuk kecintaan yang tidak berdiri di atas perasaan semata, melainkan terikat dengan pemahaman syar’i yang telah diwajibkan oleh Allah Taala. Ia bukan sekadar rasa suka, kagum, atau nyaman, tetapi kecintaan yang menuntut konsekuensi berupa ketaatan, pengorbanan, dan pengagungan kepada-Nya.
Allah Taala berfirman:
ÙˆَÙ…ِÙ†َ النَّاسِ Ù…َÙ†ْ ÙŠَتَّØ®ِذُ Ù…ِÙ†ْ دُونِ اللَّÙ‡ِ Ø£َÙ†ْدَادًا ÙŠُØِبُّونَÙ‡ُÙ…ْ ÙƒَØُبِّ اللَّÙ‡ِ ۖ Ùˆَالَّذِينَ آمَÙ†ُوا Ø£َØ´َدُّ Øُبًّا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”
(QS Al-Baqarah [2]: 165)
Renungan tentang makna cinta ini berawal dari perbincangan ringan saya dengan anak saya yang telah menginjak usia remaja. Ia bertanya, “Ma, apakah cinta sebelum menikah itu boleh?”
Saya menjawab, boleh, karena rasa suka atau ketertarikan merupakan fitrah yang Allah tanamkan dalam diri manusia. Ia kemudian bertanya lagi, “Maksudnya kesengsem dengan lawan jenis, Ma?” Saya menjawab, iya.
Namun, saya jelaskan bahwa sejatinya tidak ada cinta yang sesungguhnya sebelum pernikahan. Perasaan yang sering disebut cinta sebelum menikah lebih tepat disebut ketertarikan, rasa senang, atau kecenderungan hati. Cinta yang benar, utuh, dan bertanggung jawab tidak mungkin hadir tanpa ikatan yang sah. Selama belum ada akad, perasaan tersebut lebih dekat kepada dorongan nafsu dan ketertarikan kepada lawan jenis, bukan cinta dalam makna yang sebenarnya.
Cinta ternyata tidak hanya tentang jantung berdebar atau rasa suka sesaat. Di balik kata cinta, selalu ada konsekuensi. Jika sebuah perasaan telah sampai pada derajat cinta, maka di dalamnya terdapat ketaatan dan pengorbanan. Jika baru sebatas rasa senang dan ketertarikan, itu masih berupa kecenderungan, belum dapat disebut cinta.
Anak saya kemudian bertanya lagi, “Kalau mencintai, apakah harus bucin?” Saya menjawab, tentu tidak. Cinta tidak identik dengan kehilangan akal sehat atau mengorbankan prinsip. Contohnya adalah cinta seorang ibu kepada anaknya. Cinta tersebut kadang hadir dalam bentuk marah, ketika marah memang dibutuhkan. Kemarahan itu bukan karena benci, melainkan justru lahir dari cinta dan tanggung jawab.
Dalam Islam, dikenal konsep cinta karena Allah dan marah karena Allah. Hal ini menunjukkan bahwa cinta adalah perasaan yang bertanggung jawab, bukan perasaan liar tanpa arah. Cinta memiliki prinsip, yaitu ketaatan dan pengorbanan dalam koridor yang benar.
Karena itu, jika mencintai manusia atau lawan jenis, tidak diperlukan pacaran. Pacaran justru berpotensi merusak, baik merusak hati, kehormatan, maupun ketaatan kepada Allah. Jika memang serius dan siap, maka jalan yang diridai Allah adalah pernikahan. Di situlah cinta yang sebenarnya dapat tumbuh dan terjaga.
Adapun kecintaan kepada Allah memiliki bentuk yang berbeda dengan cinta kepada manusia. Cinta kepada Allah diwujudkan dengan mengagungkan-Nya, menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta menjadikan rida-Nya sebagai tujuan utama hidup. Oleh karena itu, cinta harus didefinisikan dengan tepat. Jangan sampai atas nama cinta, seseorang justru melakukan perbuatan yang salah dan melanggar syariat.
Demikianlah perbincangan singkat namun sarat makna yang kami lalui. Semoga menjadi pengingat bagi kita semua untuk senantiasa mengoreksi diri, sudahkah cinta kita kepada Allah benar dan lurus.
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:
0 Comments: