Kebebasan Berekspresi: Jebakan Liberal dan Ilusi Media Digital
Oleh: Hana Salsabila A.R
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Dalam negara yang berbasis demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi dikenal sebagai salah satu hak fundamental yang dijamin bagi setiap individu. Hak ini dipahami sebagai kebebasan personal tanpa campur tangan pihak lain, baik masyarakat maupun pemerintah, selama tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan orang lain serta tidak melanggar hukum.
Namun, standar tersebut dalam praktiknya masih menyimpan banyak kecacatan, terlebih di era digital. Generasi muda menjadi kelompok yang paling intens berinteraksi dengan dunia digital. Media sosial seolah menjadi rumah kedua tempat mereka mengekspresikan diri tanpa takut akan sanksi sosial yang nyata. Sayangnya, kondisi ini justru menjadi pisau bermata dua. Media sosial ibarat kotak terbuka yang dapat diisi apa saja tanpa proses penyaringan, sehingga batas antara baik dan buruk menjadi kabur.
Kebebasan digital yang nyaris tanpa batas ini mendorong generasi muda mengalami krisis identitas. Maraknya praktik perundungan siber menjadi salah satu bukti nyata paradoks kebebasan berekspresi. Berdasarkan laporan yang dimuat di laman YKP.co.id, sepanjang Januari hingga Oktober 2025, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 61 anak menjadi korban perundungan di sekolah dan 25 kasus bunuh diri anak yang dipicu oleh perundungan siber. Angka ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai kondisi pada tahun-tahun sebelumnya.
Selain perundungan siber, framing media turut berperan membentuk pola pikir negatif pada anak. Merebaknya konten brainrot melahirkan apa yang dikenal sebagai generasi microwave, generasi yang menginginkan segala sesuatu secara instan. Tidak sedikit pula konten yang justru mendorong perilaku menyimpang, mulai dari ujaran kebencian hingga tindakan kriminal, yang sering kali berlindung di balik dalih candaan. Bias standar kebenaran dan keburukan inilah yang akhirnya memperparah budaya perundungan.
Ironisnya, di balik dampak negatif tersebut, media sosial juga kerap dianggap sebagai ruang aman bagi generasi muda. Hal ini tidak terlepas dari kegagalan lingkungan terdekat, terutama keluarga, dalam menjalankan perannya. Orang tua sejatinya menjadi rumah pertama yang aman bagi anak. Jika rumah sudah tidak lagi memberi rasa aman, kepada siapa lagi anak akan berlindung. Kesenjangan antargenerasi memperlebar jurang komunikasi. Orang tua dianggap kolot dan terlalu mengatur, sementara generasi muda telah terpapar nilai liberalisme dari media dan lingkungan. Bahkan, tidak jarang orang tua sendiri bersikap toksik sehingga menciptakan pola pikir dan lingkungan yang semakin merusak bagi anak.
Masalah ini tidak bisa dilepaskan dari peran negara dan masyarakat. Sistem kapitalisme liberal terbukti turut menyumbang kerusakan generasi. Sistem ini membentuk cara pandang materialistis, menjadikan anak sebagai investasi masa depan, serta melahirkan relasi sosial yang sarat tekanan. Ketika realitas hidup terasa melelahkan, media sosial menjadi pelarian sementara, baik ke arah yang positif maupun negatif. Siklus ini terus berulang dan melahirkan budaya toksik yang mengakar.
Perubahan seharusnya dimulai dari negara dengan mengganti sistem yang rusak dengan sistem Islam. Dalam Islam, hubungan orang tua dan anak diatur secara jelas. Orang tua wajib memelihara, mengasuh, mendidik, menjaga, dan melindungi anak sesuai kemampuan, sementara anak berkewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya. Pola ini melahirkan lingkungan keluarga yang positif dan aman.
Selain itu, negara dalam Islam memiliki peran penting dalam mengatur dan membatasi media. Kebebasan tanpa batas ala kapitalisme justru melahirkan generasi yang lemah mental dan terbiasa merundung. Negara berkewajiban menyaring konten dan mengelola ruang digital agar sejalan dengan nilai kebenaran dan kemaslahatan.
Generasi muda memang identik dengan semangat kebebasan. Namun, dalam Islam, kebebasan tersebut berada dalam koridor penghambaan kepada Allah Swt. Hakikat hidup manusia adalah beribadah kepada-Nya dan menjalankan syariat-Nya.
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِنسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Az-Zariyat: 56)
Sudah sepatutnya generasi muda dan generasi tua bekerja sama membangun peradaban tanpa perundungan dan saling menyalahkan. Wallahu a‘lam. [US]
Baca juga:
0 Comments: