Jebakan Ruang Digital bagi Aktivisme Pemuda
Oleh: Siti Eva Rohana
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com - Teknologi informasi dan komunikasi di era digital berkembang secara masif dan memainkan peran sentral dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh aktivitas kini terhubung dengan teknologi dan internet.
Berdasarkan analisis data adopsi internet terkini dari We Are Social, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia, yakni mencapai sekitar 230.448.000 jiwa (GoodStats.id, 7 Desember 2025).
Generasi Z yang lahir dan tumbuh di tengah transformasi global ini dituntut untuk cepat beradaptasi, memahami teknologi, serta mengelola informasi secara bijak. Jika tidak, Gen Z akan mudah terjebak dalam realitas digital yang memengaruhi pola pikir, budaya, dan struktur sosial masyarakat. Akibatnya, generasi muda harus menghadapi beragam persoalan, mulai dari perundungan siber, pinjaman cepat, judi daring di berbagai platform, predator siber, hingga algoritma adiktif yang secara nyata menjauhkan mereka dari peran strategis sebagai motor pergerakan dan pelopor perubahan.
Bukan tanpa sebab, Generasi Z dan Alpha yang dikenal sebagai digital native tumbuh dalam ruang digital yang dikuasai nilai dan kepentingan kapitalisme global. Dunia digital tidak berjalan secara netral, melainkan digerakkan oleh algoritma di bawah pengaruh suatu sistem kehidupan. Dalam kapitalisme, algoritma bukan sekadar alat teknis penyaji konten, tetapi juga instrumen ideologis yang secara halus membentuk cara berpikir dan kebiasaan generasi.
Ruang digital yang tidak netral ini memang melahirkan sejumlah peluang positif, di antaranya munculnya aktivisme glocal, yaitu pergerakan Generasi Z yang berskala global namun berakar lokal, seperti keberanian mengoreksi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Sikap kritis tersebut mampu menginisiasi perubahan melalui ruang digital.
Namun, di sisi lain, berbagai tantangan juga berkembang. Tantangan Generasi Z bukan lagi soal akses teknologi, melainkan persoalan digital well-being dan kemampuan memilah informasi. Arus informasi saat ini didominasi kapitalisme sekuler yang membuat potensi besar generasi muda tidak berkembang secara optimal.
Setidaknya terdapat empat jebakan kapitalisme sekuler terhadap aktivisme pemuda. Pertama, pemuda dijadikan komoditas pasar. Kapitalisme memandang pemuda bukan sebagai subjek perubahan, melainkan objek industri global. Mereka diarahkan pada gaya hidup konsumtif, pengejaran prestise, haus pengakuan publik, serta standar kecantikan, kesuksesan, dan kebahagiaan semu. Akibatnya, muncul fenomena depression economy, yakni generasi muda yang kaya akses, tetapi miskin makna.
Kedua, sekularisme menempatkan agama sebatas urusan privat dan ritual. Islam tidak dikenal sebagai sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemuda pun diajarkan bahwa agama tidak relevan dalam mendorong perubahan sosial.
Ketiga, ketika kapitalisme menguasai ruang publik dan agama dipisahkan dari kehidupan, pemuda kehilangan kompas moral dan mengalami krisis identitas. Mereka tidak menemukan jawaban hakiki tentang jati diri, tujuan hidup, dan arah perjuangan. Kondisi ini memicu berbagai gangguan mental, seperti kecemasan, stres, kebencian terhadap diri sendiri, hingga bunuh diri. Solusi atas persoalan tersebut tidak cukup hanya dengan motivasi, self-improvement, atau self-healing.
Keempat, aktivisme berjalan tanpa arah ideologis yang jelas. Pergerakan digital native cenderung pragmatis. Meski banyak pemuda terlibat dalam isu lingkungan, pendidikan, dan kemanusiaan, sebagian besar bergerak tanpa visi peradaban. Fokus hanya pada perbaikan gejala, bukan akar persoalan. Selain itu, dorongan memperoleh validasi dari ruang daring turut memengaruhi perilaku mereka.
Dalam perspektif Islam, pemuda memiliki kedudukan strategis sebagai penopang peradaban. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk” (QS. Al-Kahfi: 13). Ayat ini menegaskan bahwa kekuatan pemuda tidak hanya terletak pada energi fisik, tetapi pada keteguhan akidah dan komitmen ideologis. Dengan fondasi tersebut, pemuda mampu menjadi motor perubahan yang bermakna, tidak terjebak dalam aktivisme parsial, tetapi bergerak menuju perubahan sistemis.
Generasi muda harus diselamatkan dari kerusakan sistemik akibat gaya hidup materialistis, derasnya arus digital, dan lemahnya pembinaan karakter. Upaya penyelamatan ini hanya dapat dilakukan dengan mengubah paradigma berpikir sekuler menjadi paradigma berpikir Islam.
Paradigma Islam memberikan kerangka komprehensif dalam memandang realitas, menilai benar dan salah, serta menentukan cara berperilaku. Dengan paradigma ini, generasi muda tidak hanya kritis, tetapi juga memiliki standar kebenaran sesuai syariat Islam dalam menyaring informasi dan memaknai dunia digital. Perpaduan antara paradigma Islam dan potensi aktivisme dalam diri generasi muda akan melahirkan pergerakan nyata menuju perubahan hakiki.
Proses ini menuntut sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga menjadi lingkungan pertama dalam menanamkan cara berpikir dan adab. Masyarakat berperan sebagai penguat lingkungan yang kondusif. Negara memiliki peran strategis dalam menciptakan sistem yang mendukung terbentuknya generasi berkepribadian Islam melalui kebijakan pendidikan, informasi, dan teknologi yang selaras dengan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: