Headlines
Loading...

Oleh: Artatiah Achmad
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak kuperlakukan dengan baik?”
Nabi menjawab, “Ibumu.”
“Lalu siapa lagi?”
Nabi menjawab, “Ibumu.”
“Lalu siapa lagi?”
Nabi menjawab, “Ibumu.”
“Lalu siapa lagi?”
Nabi menjawab, “Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.”
(HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan)

Betapa besar kedudukan seorang ibu di dalam Islam. Berbakti kepada ibu merupakan kewajiban utama setelah bertauhid. Ya Allah, saat ini ibuku yang biasa kupanggil “Mamah” telah tiada. Betapa besar penyesalanku hari ini. Andai saja ada satu hari untuk bertemu dengannya, tentu tidak akan kusia-siakan.

Kusadari baktiku kepadanya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangannya melahirkan, membesarkan, dan mendidikku. Pintaku dalam setiap doa, semoga Allah senantiasa menyayangi mamah dan bapakku sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecilku. Al-Fatihah.

Berbicara tentang mamah, begitu banyak kenangan yang terpatri dalam sanubari. Berjuta kenangan indah senantiasa mewarnai hidupku. Ketulusan cinta kasihnya tak lekang dimakan zaman.

Mamahku adalah seorang wanita sederhana yang berbudi pekerti tinggi. Walaupun hanya lulusan sekolah dasar, beliau mampu menanamkan nilai-nilai luhur sopan santun dan kasih sayang. Walaupun pengetahuan agama beliau terbatas, mamah mampu mendidik anak-anaknya agar berpegang teguh pada Islam yang mulia, bahkan menjadi pengembannya. Semoga semua ini menjadi amal jariyah bagi almarhumah mamah tercinta. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Jika kuingat sosok mamah, air mata ini selalu berderai. Terbayang bagaimana kerasnya perjuangan beliau bersama bapak dalam membesarkan ketujuh putri mereka. Di usia belia, beliau telah menikah. Selang sebulan menikah, alhamdulillah beliau langsung mengandung anak pertama.

Bapak sering bercerita bahwa mamah senantiasa melalui masa kehamilan yang berat. Setiap hamil, beliau mengalami mual dan muntah yang parah, bahkan hingga muntah darah akibat iritasi saluran cerna. Kondisi ini terus berulang hingga tujuh kali kehamilan.

Aku masih ingat saat mamah hamil si bungsu, Annisa Fauziah. Saat itu aku duduk di kelas dua sekolah dasar. Ketika muntah, seolah seluruh isi perutnya keluar. Tak hanya cairan kuning bening, terkadang berwarna merah kecokelatan. Begitu getir terasa.

Keadaan itu tidak membuat mamah lemah. Walaupun tidak bisa makan nasi, beliau tetap menyiapkan masakan dan menjalankan perannya sebagai ibu dan istri tanpa keluhan. Bahkan, mamah tetap pergi ke pasar untuk membeli aneka barang dagangan yang dijual kembali di warung kecil miliknya.

Mamah mulai berjualan sejak tahun 1978. Kata bapak, keputusan berjualan diambil agar dapur tetap mengepul. Mamah dan bapak merajut asa demi keberhasilan ketujuh putrinya. Mereka bertekad menyekolahkan anak-anak hingga meraih gelar sarjana. Masyaallah tabarakallah, begitu luar biasa cita-cita mamahku. Beliau mewariskan kami pendidikan tinggi yang kala itu masih jarang terpikirkan oleh masyarakat sekitar.

Mamah berjualan sayuran dan aneka lauk pauk di pojok rumah panggung kami. Warung sederhana itu menyimpan berjuta kenangan. Pernah aku cemberut saat melayani pembeli yang kembali berutang. Namun, mamah dengan bijak selalu mengingatkan agar tetap bersikap sopan dan tetap memberi kelonggaran. Beliau sangat empatik. “Keun bae” (biarkan saja), itulah ucapannya ketika orang yang berutang menghilang tanpa kabar.

Kini kusadari, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Nilai itu nyata dalam sosok almarhumah mamahku. Pahit getir kehidupan tidak menjadikannya kikir saat keadaan mulai membaik. Beliau ringan tangan membantu siapa pun yang membutuhkan. Nilai-nilai ini ditanamkan kepada anak dan cucunya. Kami diajarkan untuk menjaga silaturahim, membantu kerabat, berbuat baik kepada tetangga, serta memuliakan tamu. Semoga kami istikamah meneruskan kebaikan beliau.

Mamah, kaulah wanita tangguh itu. Engkau bukan wanita yang haus validasi. Engkau begitu ikhlas membersamai kami. Hatimu begitu bersih, tidak iri saat tidak dipuji, tidak sakit hati saat tidak dihargai, dan tidak kecewa saat kebaikan tak dibalas. Prinsip hidupmu begitu mulia, bahwa balasan sejati bukan dari manusia, melainkan dari Allah Yang Maha Mengetahui.

Terima kasih atas pelajaran ikhlasmu. Dengan keikhlasan, hati menjadi tenang dan bahagia. Cukup dengan rida Allah, jiwa pun merasa lapang. Masyaallah tabarakallah.

Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahfi: 110)

Di balik kesuksesan anak cucumu, ada pengorbanan yang tak terhingga. Meski tak tertulis dan tak tersiar, jasa-jasamu senantiasa kami kenang. Apalah kami tanpamu, Mah. Terima kasih, ya Allah, atas perjuangan wanita tangguh ini, wanita yang melahirkan, membesarkan, dan mendidikku di tengah keterbatasan. Himpunlah kami sekeluarga di surga-Mu, ya Rabb. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Semoga Surah At-Tur ayat 21 ini menjadi pengingat bagi diri:

ÙˆَالَّذِÙŠْÙ†َ آمَÙ†ُÙˆْا ÙˆَاتَّبَعَتْÙ‡ُÙ…ْ ذُرِّÙŠَّتُÙ‡ُÙ…ْ بِØ¥ِÙŠْÙ…َانٍ Ø£َÙ„ْØ­َÙ‚ْÙ†َا بِÙ‡ِÙ…ْ ذُرِّÙŠَّتَÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَÙ…َا Ø£َÙ„َتْÙ†َاهُÙ…ْ Ù…ِÙ†ْ عَÙ…َÙ„ِÙ‡ِÙ…ْ Ù…ِÙ†ْ Ø´َÙŠْØ¡ٍ ۗ ÙƒُÙ„ُّ امْرِئٍ بِÙ…َا Ùƒَسَبَ رَÙ‡ِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka di surga, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Tur: 21).


Tangerang Selatan, 15 Desember 2025

[Hz]

Baca juga:

0 Comments: