Headlines
Loading...
Bagaimana Cara Melindungi Anak di Ruang Digital?

Bagaimana Cara Melindungi Anak di Ruang Digital?

Oleh: Rya
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com Pemerintah merasa gerah melihat maraknya kejahatan di ruang digital yang menyasar anak-anak, seperti perundungan daring, pornografi, dan berbagai konten negatif lainnya. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan bahwa sebanyak 48 persen anak-anak di Indonesia mengalami perundungan daring.

Selain itu, UNICEF mencatat bahwa anak-anak di Indonesia menggunakan internet rata-rata selama 5,4 jam per hari, dan sekitar 50 persen di antaranya pernah terpapar konten dewasa. Data ini dilansir oleh Kompas.com pada 6 Desember 2025.

Kegerahan pemerintah tersebut diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, yang dikenal sebagai PP Tunas, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital. Kebijakan ini diklaim sebagai jawaban atas berbagai ancaman digital terhadap anak-anak. Informasi ini juga dimuat oleh Kompas.com pada 6 Desember 2025.

Keseriusan pemerintah tentu patut diapresiasi. Namun, pertanyaannya adalah seberapa efektif PP Tunas benar-benar mampu melindungi anak-anak. Benarkah ruang digital merupakan penyebab utama berbagai permasalahan yang menimpa mereka?

Sesungguhnya, masalah tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Asap tidak mungkin muncul tanpa adanya api. Akar persoalan sejatinya terletak pada penerapan sekularisme kapitalisme. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Ruang digital pada dasarnya hanyalah seperangkat teknologi. Baik atau buruknya sangat bergantung pada siapa dan bagaimana ia digunakan. Saat ini, paham sekularisme dan kapitalisme mendominasi cara berpikir generasi muda. Agama dipisahkan dari kehidupan dan hanya ditempatkan dalam ranah ibadah ritual semata, sementara dalam kehidupan sehari-hari agama dianggap tidak boleh ikut campur.

Akibatnya, perilaku dan aktivitas anak-anak semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Tindakan mereka dikendalikan oleh hawa nafsu. Termasuk bebas masuk ke ruang digital tanpa filter. Prinsip yang dipegang adalah selama menyenangkan, maka tidak masalah. Perundungan daring, konten negatif, hingga pornografi diakses dan dilakukan tanpa rasa berdosa.

Kurikulum pendidikan yang berlandaskan sekularisme kapitalisme pun berkontribusi mencetak generasi yang rusak. Pendidikan tidak berfokus pada pembentukan pribadi yang saleh dan benar, melainkan sekadar menjejalkan ilmu pengetahuan yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan hakiki manusia. Akibatnya, berbagai pelanggaran pun marak terjadi. Kehadiran PP Tunas pada akhirnya hanya membatasi akses media sosial, tetapi tidak menyentuh akar persoalan, yakni sistem sekularisme kapitalisme itu sendiri.

Sistem Islam

Sistem Islam sangat berbeda dengan sekularisme dan kapitalisme. Islam berasal dari Sang Pencipta, yaitu Allah Swt., sedangkan sekularisme dan kapitalisme lahir dari akal manusia. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh pemahamannya, apakah berlandaskan Islam atau justru di luar Islam.

Sejarah menunjukkan hal tersebut. Khalifah Umar bin Khattab r.a. memiliki perilaku yang sangat berbeda sebelum dan sesudah mengenal Islam melalui dakwah Rasulullah Muhammad saw. Sebelum masuk Islam, Umar memusuhi dakwah Rasulullah karena mengira beliau hanyalah seorang pendusta. Namun setelah memeluk Islam, Umar justru menjadi pendukung utama dakwah Islam. Perubahan perilaku ini terjadi karena perubahan pemahaman.

Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan untuk melindungi generasi dari kerusakan adalah keberanian negara untuk melepaskan ideologi sekularisme kapitalisme dan menggantinya dengan Islam sebagai dasar pengaturan negara. Pengaturan ini harus mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak terbatas pada media semata. Dengan demikian, akan terwujud kondisi ideal untuk mencetak generasi yang kuat dan taat.

Kedua, melalui sistem pendidikan Islam, generasi dibentuk dengan kepribadian Islam yang kokoh dan tangguh. Mereka dibekali tsaqafah Islam agar mampu membedakan benar dan salah, halal dan haram, serta memiliki tekad kuat untuk berpegang pada kebenaran kapan pun dan di mana pun, termasuk dalam penggunaan media sosial.

Ketiga, media harus dikelola secara islami. Tidak boleh ada tayangan yang merusak anak-anak. Media seharusnya menjadi sarana penguatan akidah dan ketaatan kepada syariat, bukan alat pembangkit syahwat.

Keempat, diperlukan upaya penyadaran di tengah umat tentang urgensi dan kewajiban penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Peran semua pihak sangat dibutuhkan agar terwujud kehidupan yang diridai Allah. Hal tersebut hanya dapat dicapai dengan tegaknya syariat Islam. Mustahil berharap pada sistem sekularisme kapitalisme yang berlaku saat ini. [US]


Baca juga:

0 Comments: