Akses 'Dark Web' hingga Grup True Crime, Jebakan Gelap Bagi Remaja
Oleh: Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)
SSCQMedia.Com—Berita viral sebulan lalu mengungkap bahwa Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menemukan aktivitas daring terduga pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta. Dari hasil penelusuran, diketahui bahwa pelaku kerap mengakses komunitas daring yang menampilkan konten kekerasan ekstrem melalui situs gelap atau dark web. Situs-situs tersebut memuat video dan foto terkait perang, pembunuhan, serta aksi sadis lainnya. Selain itu, menurut Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono, dalam grup True Crime Community, perilaku kekerasan tersebut berpotensi ditiru oleh anggotanya (Detik.com, 21 November 2025).
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi sebatas tawuran atau bolos sekolah. Di era digital, bentuknya jauh lebih berbahaya, seperti akses ke dark web, konsumsi konten kekerasan ekstrem, hingga imitasi aksi teror dan pembunuhan. Dunia digital tanpa batas menjadi ruang baru bagi remaja yang tumbuh sebagai digital natives. Rasa ingin tahu yang besar, tanpa benteng nilai yang kuat, menjadikan remaja sangat rentan dieksploitasi di ruang virtual.
Fenomena ini terlihat jelas pada kasus SMAN 72 Jakarta, di mana pelaku aktif mengakses dark web, menonton konten kekerasan ekstrem, dan mengidolakan pelaku penembakan massal. Pola serupa juga terjadi di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Banyak remaja kecanduan konten kekerasan digital hingga berujung pada obsesi, imitasi, dan tindakan nyata.
Mengapa remaja bisa terjerumus sedalam itu? Akar persoalannya terletak pada sistem kapitalisme sekuler yang melingkupi kehidupan generasi saat ini. Sistem ini gagal memberikan arah hidup yang benar. Hegemoni kapitalisme digital memperparah keadaan, karena ruang informasi yang dikonsumsi generasi dibentuk oleh kepentingan ekonomi, bukan pembinaan nilai dan moral.
Dalam ekosistem kapitalisme, remaja diperlakukan sebagai komoditas paling empuk bagi algoritma. Platform media sosial dirancang bukan untuk melindungi pengguna, melainkan untuk memanen perhatian dan data. Ketika seorang remaja membuka konten kekerasan, algoritma akan terus menyodorkan konten serupa dan mendorong mereka masuk ke dalam ruang gema yang menormalisasi kekerasan.
Remaja yang sedang mencari jati diri mudah merasa diterima dalam komunitas digital yang salah, terlebih jika mereka mengalami penolakan, isolasi sosial, atau minim dukungan keluarga di dunia nyata. Kondisi ini diperparah dengan isu generation gap yang terus digulirkan Barat untuk mengendalikan cara berpikir dan berperilaku generasi muda.
Ironisnya, dark web yang sarat dengan perdagangan senjata, narkoba, dan konten sadis tidak pernah benar-benar diberantas oleh negara-negara kapitalis. Padahal, para penguasa mengetahui bahwa ruang gelap ini telah memicu banyak tragedi nyata, termasuk kasus SMAN 72 Jakarta. Selama ekosistem ini menguntungkan, ia dianggap sebagai bagian dari kebebasan digital.
Pada saat yang sama, konten dakwah Islam yang mendidik generasi justru dibatasi melalui pembatasan jangkauan, penghapusan sepihak, hingga pemblokiran. Platform yang membiarkan kekerasan ekstrem berkembang justru dengan cepat menekan konten tentang syariat Islam, dakwah ideologis, dan pemikiran Khilafah. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi digital tidak ditujukan untuk melindungi masyarakat, melainkan menjaga eksistensi ideologi kapitalisme.
Gabungan antara kerentanan remaja, eksploitasi algoritma, lemahnya peran keluarga, serta kapitalisme permisif menciptakan pusaran yang menyeret remaja semakin jauh. Mereka kehilangan batas moral akibat paparan kekerasan berulang, mencari teladan pada figur kriminal digital, dan kehilangan pijakan nilai untuk memahami tujuan hidup.
Kapitalisme terbukti gagal menjaga jiwa manusia karena menempatkan keuntungan ekonomi di atas keselamatan generasi.
Generasi adalah Aset Peradaban
Islam memandang nyawa manusia sebagai amanah agung yang wajib dijaga, bukan sekadar angka statistik sebagaimana dalam paradigma kapitalistik. Oleh karena itu, solusi sejati untuk mencegah kekerasan remaja akibat paparan konten ekstrem harus berangkat dari cara pandang Islam terhadap manusia dan generasi.
Generasi adalah aset peradaban. Negara sebagai pengurus umat wajib memberikan perlindungan jiwa secara menyeluruh, tidak hanya bersifat kuratif, tetapi dimulai jauh sebelum masalah muncul, yakni dengan membentuk kepribadian Islam yang kokoh. Hal ini diwujudkan melalui sinergi orang tua, masyarakat, dan sistem pendidikan negara yang berdiri di atas akidah Islam.
Dengan pola pikir Islami, remaja tumbuh kuat dan tidak mudah terjerat konten ekstrem, manipulasi algoritma, maupun jebakan komunitas gelap di internet. Negara Khilafah memastikan ruang digital menjadi ruang yang aman dan bersih dari ideologi perusak.
Negara tidak membiarkan keberadaan dark web, situs kriminal, jaringan ekstrem, atau platform yang mengatur algoritma semata demi keuntungan kapitalis tanpa memperhatikan keselamatan generasi muda. Dunia digital berada di bawah kontrol negara Islam, bukan korporasi asing. Setiap platform wajib tunduk pada nilai Islam dan dilarang menyebarkan kekerasan, pornografi, ekstremisme, serta budaya hedonistik.
Regulasi digital dalam Islam bukan sekadar memblokir konten, tetapi membangun arsitektur digital Islami yang melindungi akal dan perasaan masyarakat sejak awal. Sistem sanksi Islam ditegakkan secara tegas dan proporsional terhadap pelaku kekerasan dan kejahatan ekstrem, sebagai mekanisme perlindungan sosial dan pencegahan.
Dengan demikian, akan lahir generasi muda berkepribadian Islam yang matang dan visioner. Mereka bukan korban algoritma atau objek industri digital, melainkan generasi yang mampu menyaring informasi, kuat secara mental, dan terbiasa berpikir mendalam.
Saat inilah pemuda Muslim harus tampil sebagai pelopor perubahan untuk mewujudkan kembali perisai umat Islam, yakni Khilafah Islam. Sebab hanya dengan Khilafah, generasi dapat terlindungi dan peradaban yang aman, bermartabat, serta penuh keberkahan dapat terwujud.
Wallahu a’lam. [My]
Baca juga:
0 Comments: