Jejak Keserakahan Kapitalis di Balik Banjir Sumatera
Oleh: Nani Cahyani
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Sumatra berduka. Setelah diguyur hujan lebat sejak 19 November 2025, pada Selasa, 25 November 2025, bumi Aceh dan sekitarnya tidak lagi mampu menampung debit air hujan. Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pun diterjang banjir bandang dan tanah longsor.
Dikutip dari Kompas.com edisi 28 November 2025, berdasarkan data Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban banjir dan longsor di Sumatra Utara tercatat 48 orang meninggal dunia dan 88 orang dinyatakan hilang. Di Sumatra Barat, sembilan orang meninggal dunia. Sementara itu, di Aceh, berdasarkan data sementara BPBD Aceh per Kamis, 27 November 2025, tercatat 30 orang meninggal dunia.
Dalam rapat koordinasi percepatan penanganan bencana di Gedung BNPB, Jakarta, Kamis, 27 November 2025, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa Siklon Tropis Senyar telah memicu hujan sangat lebat, angin ekstrem, banjir, longsor, serta gangguan transportasi laut di tiga provinsi tersebut.
Lagi-lagi, cuaca ekstrem dijadikan kambing hitam. Negara seolah menutup mata, padahal alam telah memberikan jawaban yang nyata di hadapan kita. Jutaan kayu gelondongan ikut terseret banjir bandang. Pemandangan tidak lazim ini memunculkan tanda tanya besar. Dari manakah asal kayu-kayu berukuran sebesar tiang listrik tersebut?
Pohon seukuran pelukan manusia mustahil ditebang hanya dengan gergaji biasa, terlebih jumlah kayu yang hanyut mencapai jutaan batang. Sudah barang tentu, pembabatan hutan ini dilakukan dengan alat berat dan mesin canggih milik korporasi besar.
Selama dua dekade terakhir, hutan-hutan dibabat, kayunya diambil, lalu digantikan dengan perkebunan kelapa sawit. Batu bara, bijih besi, nikel, emas, dan perak dikeruk tanpa ampun. Tanah dan batu pun tak luput dari eksploitasi. Semua dilakukan atas nama pembangunan dan investasi, demi pemasukan negara yang sejatinya tidak sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan. Inilah wajah pahit kehidupan dalam sistem kapitalisme sekuler.
Paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, berpadu dengan sistem kapitalisme yang memberi kebebasan penuh kepada pemodal tanpa mempertimbangkan dampak ekologis, halal dan haram, telah melahirkan bencana demi bencana. Rumah-rumah hancur, habitat alami flora dan fauna musnah, bahkan nyawa manusia melayang. Negara yang seharusnya menjadi pelindung alam dan rakyat justru berperan sebagai jembatan bagi korporasi untuk merusak hutan beserta seluruh ekosistemnya.
Padahal, Allah Swt. telah mengingatkan manusia dalam Al-Qur’an. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman yang artinya, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
Konsep ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam Islam, penguasa sebagai khalifah fil ardh memosisikan dirinya sebagai ra’in (pemimpin) dan ri’ayah (pengurus). Alam dan seluruh isinya merupakan amanah dari Allah Swt. yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Seluruh aktivitas manusia harus selaras dengan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Baik pemimpin maupun rakyat menjadikan syariat sebagai tolok ukur dalam berpikir dan berperilaku.
Dalam sistem Islam, negara tidak perlu menjual aset atau kekayaan alam demi memperoleh pendapatan. Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga mengatur sistem pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pelayanan kesehatan.
Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Masing-masing memiliki aturan sesuai syariat. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Hutan dan seluruh isinya termasuk dalam kepemilikan umum yang wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Hutan tidak boleh diprivatisasi, apalagi diserahkan kepada korporasi. Negara hanya berperan sebagai pengelola, bukan pemilik.
Sumber pemasukan negara dalam Islam berasal dari fai, ghanimah, kharaj, jizyah, hibah, wakaf, dan sumber lainnya yang sah secara syariat. Sistem distribusi kekayaan dalam Islam menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran sehingga kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan. Negara pun hadir sebagai pelindung rakyat ketika musibah terjadi.
Sejarah mencatat kisah kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. Saat Madinah dilanda paceklik berkepanjangan, Umar segera mengirim surat kepada para wali di Syam, Irak, dan Palestina. Tak lama, bantuan pun berdatangan. Ribuan unta membawa bahan makanan, pakaian, dan selimut. Umar bahkan turun langsung mengatur distribusi bantuan dan membagikan makanan kepada rakyatnya. Inilah gambaran pemimpin Islam yang menyayangi rakyatnya seperti seorang ayah kepada anak-anaknya.
Berkaca dari kisah tersebut, negara seharusnya sigap menghadapi musibah. Dengan kemajuan teknologi, dampak bencana semestinya dapat diantisipasi atau setidaknya diminimalkan. Negara wajib meninjau ulang kebijakan, menindak tegas perusahaan perusak lingkungan, serta memperketat regulasi perizinan agar tidak terjadi negosiasi kotor.
Pejabat, baik pusat maupun daerah, yang terlibat memuluskan kepentingan korporasi harus diadili. Negara juga wajib segera menyalurkan bantuan dan mengalokasikan dana darurat untuk pemulihan wilayah terdampak.
Namun, semua itu tidak akan terwujud selama sistem selain Islam masih diterapkan. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam kafah yang bersumber dari Sang Khalik, keadilan dan perlindungan hakiki bagi manusia dan alam dapat diwujudkan.
Wallahu a’lam bisshawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: