Oleh: Sri Mulyani
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Aceh, khususnya wilayah Pidie Jaya dan sekitarnya, sedang menghadapi bencana yang kerap disalahpahami. Sejumlah media nasional dan keagamaan memberitakan peristiwa ini sebagai banjir. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh lebih serius dan kompleks. Yang terjadi bukan sekadar limpasan air hujan, melainkan banjir material atau debris flow, yakni aliran air dari kawasan hulu yang membawa lumpur, tanah, batu, kayu, serta sedimen berat dalam volume besar, kemudian mengendap di permukiman dan badan jalan setinggi satu hingga tiga meter (Suara.com, 14 Desember 2025).
Banjir dan longsor di Aceh menyebabkan sejumlah ruas jalan nasional tertutup total, termasuk jalur strategis di Pidie Jaya dan wilayah sekitarnya. Akibatnya, akses transportasi lumpuh, distribusi bantuan terhambat, dan aktivitas ekonomi terhenti. Ketika air surut, persoalan tidak serta-merta selesai. Material berat tidak ikut pergi. Lumpur mengeras, mengunci jalan, menutup rumah, merusak kendaraan, dan memenjarakan warga di ruang hidup yang semakin sempit (ANTARA News, 12 Desember 2025).
Hujan deras juga mengganggu Jalan Nasional Meureudu–Ulim di Pidie Jaya. Mobilitas warga terganggu, jalur logistik terputus, dan wilayah terdampak berubah menjadi kantong-kantong isolasi. Bahkan, di beberapa daerah bantuan terpaksa disalurkan menggunakan drone karena akses darat sama sekali tidak dapat ditembus (ANTARA News, 12 Desember 2025). Kondisi ini bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan krisis konektivitas dan kemanusiaan.
Situasi tersebut menegaskan bahwa Aceh saat ini berada dalam kondisi darurat infrastruktur yang dipicu oleh kerusakan ekologis di kawasan hulu. Kendaraan roda karet tidak dapat melintas. Alat angkut logistik terhenti. Sekolah, pasar, dan layanan kesehatan terdampak. Kehidupan sosial masyarakat seakan berhenti, menunggu jalan dibuka kembali dari timbunan lumpur dan material alam.
Masalah utamanya bukan semata curah hujan yang tinggi. Hujan deras adalah fenomena alam yang berulang. Namun, dampaknya berubah menjadi bencana besar ketika daya dukung lingkungan runtuh. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi penyangga air mengalami degradasi serius. Tutupan hutan berkurang, fungsi resapan hilang, dan lereng menjadi rapuh. Air hujan yang semestinya diserap tanah justru meluncur deras ke hilir sambil menyeret apa pun yang dilewatinya. Debris flow menjadi alarm keras bahwa keseimbangan ekologis telah terlampaui.
Dalam kondisi darurat seperti ini, kesalahan paling fatal adalah menerapkan prosedur normal pada situasi yang tidak normal. Alat berat bukan lagi instrumen pembangunan, melainkan urat nadi penyelamatan kemanusiaan. Ekskavator, wheel loader, dan bulldozer menjadi kunci untuk membuka jalan, mengurai timbunan lumpur, serta memulihkan akses kehidupan. Tanpa pembukaan jalur fisik, bantuan hanya berhenti sebagai simbol empati, bukan solusi nyata.
Wacana pembentukan lembaga khusus seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pascatsunami 2004 patut diapresiasi dari sisi niat. Namun, dalam konteks ini, gagasan tersebut kurang relevan dengan kondisi yang berpacu dengan waktu. Pembentukan badan baru membutuhkan proses administratif yang panjang, sementara lumpur terus mengeras setiap hari. Penundaan berarti memperpanjang penderitaan rakyat dan memperbesar biaya pemulihan di kemudian hari.
Yang dibutuhkan saat ini adalah langkah cepat, terkoordinasi, dan berani. Pemangkasan birokrasi harus dilakukan. Pengerahan alat berat secara masif perlu diprioritaskan, dan keputusan lapangan harus diberi ruang gerak yang luas. Setiap jam yang terbuang hari ini berarti kesulitan yang berlipat di hari esok.
Namun, penanganan di hilir saja tidak cukup. Jika fokus hanya pada pembersihan lumpur tanpa pembenahan kawasan hulu, tragedi serupa akan terus berulang. Rehabilitasi hutan, evaluasi tata guna lahan, penertiban aktivitas perusakan lingkungan, serta pemulihan daerah tangkapan air harus menjadi agenda utama pascabencana. Ini bukan pilihan, melainkan keharusan moral dan ekologis.
Aspek ekonomi warga juga tidak boleh dipinggirkan. Kendaraan, alat kerja, dan lahan produktif yang tertimbun lumpur bukan sekadar aset benda, melainkan sumber penghidupan keluarga. Negara perlu menghadirkan skema penyelamatan dan pemulihan aset ekonomi rakyat, bukan hanya bantuan konsumtif yang bersifat sementara.
Dalam perspektif Islam, musibah ini merupakan ujian amanah kepemimpinan sekaligus peringatan keras tentang tanggung jawab menjaga bumi. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS Al-A’raf: 56), serta “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia” (QS Ar-Rum: 41). Ayat-ayat ini menegaskan bahwa bencana ekologis tidak dapat dilepaskan dari ulah manusia dan kelalaian dalam menjaga keseimbangan alam.
Aceh tidak sedang meminta belas kasihan. Aceh menuntut keadilan ekologis, kehadiran negara, dan tindakan nyata yang berpihak pada keselamatan rakyat serta kelestarian lingkungan. Semoga Allah melindungi saudara-saudara kita di Aceh dan menjadikan musibah ini sebagai jalan perbaikan bagi manusia dan alam.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Klaten, 15 Desember 2025
[Rn]
Baca juga:
0 Comments: