Gelombang PHK, Rakyat Semakin Sengsara
Oleh. Shandityas R
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Muslimah Gresik)
SSCQMedia.Com—Menjelang Ramadan 2025 ini, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus berlanjut. Sejumlah perusahaan di berbagai sektor mengumumkan PHK massal. Hal ini berdampak pada ribuan pekerja di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Yamaha Music Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Sanken Indonesia, hingga jaringan restoran cepat saji KFC (Kompas.com, 28/02/2025).
Gelombang PHK besar-besaran yang terjadi di beberapa perusahaan besar ini dipicu oleh berbagai hal di antaranya persaingan produk impor ilegal, hingga penurunan daya beli masyarakat yang mengakibatkan berkurangnya produksi karena minimnya permintaan pasar. PHK juga terjadi pada instansi pemerintah akibat adanya efisiensi anggaran. Beberapa kementerian dan lembaga juga tidak bisa membayar gaji karyawan sehingga mereka hanya dibayar sesuai durasi waktu kerja.
Padahal, untuk mendapat pekerjaan saat ini tidaklah mudah, banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan kriteria umur yang dibatasi. Dalam sistem kapitalis, buruh tidak dipandang sebagai mitra pengusaha layaknya dipenuhi hak-hak hidupnya dan dimanusiakan. Tetapi, buruh dipandang sebagai faktor produksi sama halnya dengan bahan baku dan alat mesin produksi. Jadi, ketika tidak ada permintaan pasar atau dirasa merugikan perusahaan dengan mudahnya, buruh dikorbankan untuk menyelamatkan perusahaan.
Adanya kebijakan baru pemutusan hubungan kerja (PHK) mendapatkan 60% gaji selama 6 bulan, melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 6 tahun 2025. Dengan batas atas upah sebesar Rp5 juta tidak menjadikan solusi tuntas untuk memenuhi kebutuhan apalagi kehidupan terus berlanjut tidak sampai 6 bulan saja.
Dalam sistem Islam, buruh dipandang sebagai mitra pengusaha yang saling membutuhkan. Buruh memberi jasa, sedangkan majikan/perusahaan memberi upah. Saling tolong menolong dalam aktivitas produksi yang memiliki kedudukan sama dalam memenuhi hak-hak serta kewajibannya masing-masing.
Sedangkan tugas negara adalah meriayah (pengurus) urusan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Jadi, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat di tangan negara bukan pengusaha. Karena kewajiban pengusaha hanya memberikan upah yang layak dan sesuai dengan kesepakatan keduanya.
Negara dalam sistem Islam memberikan nuansa kondusif sehingga ekonomi yang stabil mewujudkan industri sehat tumbuh dengan baik tidak mengalami kebangkrutan. Dengan cara menghilangkan berbagai pungutan-pungutan, yakni pajak, pungli ataupun retribusi yang membebani pengusaha. Jikalau perusahaan bangkrut, negara berkewajiban memberi pekerjaan bagi rakyat yang terkena PHK. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang meninggalkan harta maka harta tersebut menjadi hak keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau keluarga (yang wajib diberi nafkah) maka itu urusanku dan kewajibanku (penguasa).” (HR. Muslim).
Sumber pembiayaan negara untuk pengadaan fasilitas umum adalah dari hasil pengelolaan SDA yang jumlahnya sangat berlimpah. Negara yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya akan membuka peluang kerja yang lebih luas. Semua ini bisa dirasakan, jika kita kembali mengikuti aturan syariat Islam.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:

0 Comments: