
OPINI
Tragedi Halloween, Potret Nihilnya Jati Diri Generasi
Oleh Erwina
Maksud hati ingin bergembira, apa daya malah jadi petaka. Inilah yang terjadi pada tragedi Itaewon di Korea Selatan, akhir Oktober lalu. Sedikitnya 155 jiwa melayang dalam pesta Halloween yang pertama setelah pandemi (cnbcindonesia.com, 1/11/2022). Ironisnya, mayoritas korban adalah para pemuda usia belasan hingga dua puluhan tahun. Korea Selatan pun mencanangkan masa berkabung nasional sejak Minggu 30 Oktober hingga Sabtu 5 Nopember 2022 mendatang.
Penyelidikan pun dilakukan untuk mengungkap penyebab terjadinya tragedi Itaewon tersebut. Meski disinyalir korban berjatuhan karena berdesakan di jalan yang sempit hingga pingsan, kehabisan oksigen, ataupun terinjak-injak. Jamak dipahami bahwa kerumunan massa dalam jumlah besar beresiko jatuhnya korban jiwa.
Euforia pascapandemi layak disematkan pada kejadian ini. Karena inilah pesta Halloween pertama yang digelar setelah vakum selama pandemi. Sayangnya, pesta ini diselenggarakan hanya demi memuaskan kesenangan semata. Kesenangan yang memang diinginkan oleh gaya hidup hedonisme. Sebuah gaya hidup yang banyak dianut generasi muda. Tak terkecuali generasi muda negeri ini. Padahal hedonisme bukanlah budaya negeri ini, juga bukan ajaran agama mayoritas di negeri ini.
Hedonisme justru lahir dari paham sekuler yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham yang tujuan hidupnya hanyalah mencari kesenangan semata, terutama kesenangan secara materi. Sayangnya, paham inilah yang generasi muda negeri ini latah mengambilnya. Tidak lain karena krisis jati diri yang tengah melanda para generasi muda negeri ini.
Padahal Islam sebagai agama yang mayoritas dianut di negeri ini termasuk dianut para generasi mudanya, telah memberikan petunjuk tentang jati diri. Islam mengajarkan tujuan hidup seorang muslim adalah meraih keridaan Allah Swt. Karenanya kehidupan yang dijalani haruslah dilakukan semata untuk taat pada seluruh aturan Allah Swt. Apalagi Islam memang mengajarkan persoalan ibadah ritual sekaligus mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari bangun tidur hingga membangun negara. Yaitu negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna yang disebut negara khilafah.
Profil diri generasi muda Islam sangat dipahami pihak-pihak yang terlibat membentuknya, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Berupa sosok yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Ketika menyikapi persoalan selalu berpikir bagaimana pandangan dan solusi ala Islam untuk kemudian disikapi secara Islam pula.
Dalam menyikapi pesta halloween misalnya, profil generasi muda Islam akan berpikir bagaimana pandangan Islam terkait hal tersebut. Dalam sebuah hadits disebutkan “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud dan Ahmad). Tradisi perayaan halloween jelas bukan berasal dari Islam. Maka sudah sepatutnya generasi Islam tidak latah merayakannya. Pola sikap islami muncul dari hasil pola pikir islami.
Selain itu, perayaan-perayaan maupun pesta-pesta juga dilengkapi oleh hedonisme yang merupakan buah dari sekularisme. Paham seperti ini pun sepatutnya dipahami oleh generasi muslim dan tidak diambil sebagai pemikirannya. Alhasil aktivitas pesta demi mendapatkan kesenangan semata serta dibumbui dengan berbagai aktivitas yang berpeluang berupa kemaksiatan haruslah ditinggalkan.
Generasi muda Islam akan memiliki pola pikir dan pola sikap Islam ketika keluarga telah menanamkan dan mendidik dengan Islam sebagai ideologi. Ketika memasuki usia sekolah maka sekolah dalam negara Islam juga bertujuan menghasilkan anak didik yang berpola pikir dan pola sikap Islam. Dua pihak telah bersinergi. Dukungan masyarakat untuk menjaga pola pikir dan pola sikap terealisasi dalam aktivitas kontrol sosial. Senantiasa menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Generasi muda yang terindikasi melenceng pemikiran maupun sikapnya dari Islam akan dikontrol, ditegur secara makruf oleh masyarakat dan lingkungannya.
Adapun negara, memegang posisi penting dalam menjaga dan mewujudkan generasi muda Islam ini. Melalui sistem yang diterapkannya. Yaitu sistem yang menerapkan syariat Islam secara sempurna. Pelanggaran terhadap syariat akan dijatuhi sanksi tegas tanpa tebang pilih. Karenanya penyelenggaraan pesta-pesta yang nirmanfaat tidak akan pernah mendapatkan izin. Peluang terjadi campur baur lawan jenis, menenggak miras, juga narkoba sangat besar. Sungguh penuh kemaksiatan dan jauh dari ketaatan. Dan negara sebagai pemangku kebijakan dan memiliki kewenanganlah yang mampu tegas bertindak.
Dalam sebuah hadits disebutkan “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim].
Maka negara dengan pemimpin di dalamnya menjadi perisai dan pelindung bagi masyarakat yang dipimpinnya termasuk generasi mudanya. Maka keberadaannya menjadi keniscayaan. Dengan demikian masyarakat secara umum maupun generasi muda secara khusus akan terjaga dan tidak mudah latah membebek pesta yang nirfaedah maupun paham yang salah. Wallahua'lam bisshowab.
Baca juga:

0 Comments: