Kisah Irene Sokoy dan Bayinya: Meninggal Setelah Ditolak 4 RS
Oleh. Verawati, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia)
SSCQMedia.Com—Hal yang membuat seorang wanita memiliki kedudukan mulia adalah karena Allah menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tiga hal ini bukan hanya melelahkan, tetapi juga bisa mengancam nyawa. Namun hari ini, beban itu semakin berat. Tidak sedikit perempuan yang ketakutan dan trauma menghadapi proses kehamilan dan persalinan, karena sistem layanan kesehatan yang begitu sulit diakses, mahal, dan sering tidak manusiawi. Mereka yang memiliki uang bisa mendapat pelayanan cepat dan nyaman, sementara yang miskin kerap dibiarkan berjuang sendiri meski dalam kondisi darurat.
Kondisi tragis inilah yang dialami oleh Irene Sokoy, seorang ibu yang sedang berjuang melahirkan bayinya. Dengan menahan sakit, ia berupaya mencari pertolongan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Namun, bukannya mendapatkan penanganan, ia justru mengalami penolakan berkali-kali. Bukan sekali, bukan dua kali, tetapi empat kal.
Wanita bernama Irene Sokoy dan bayi yang dikandungnya akhirnya meninggal dunia setelah ditolak empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura, Papua. Gubernur Papua, Matius D. Fakhiri, menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban dan menyebut bahwa tragedi ini terjadi karena kelalaian jajaran pemerintahan daerah (detiknews.com, 16-10-2025).
Hasil investigasi kementerian kesehatan mengungkap empat penyebab utama tragedi tersebut: Pertama, kelangkaan dokter spesialis. Kedua, kelangkaan dokter anestesi. Ketiga, pihak rumah sakit tidak menjalankan prosedur sebagaimana mestinya—termasuk meminta uang muka Rp4 juta saat pasien dalam kondisi kritis. Keempat, sistem rujukan yang amburadul dan perlu perbaikan serius (Kompas.com, 28-11-2025).
Sungguh ironis, di tengah banyaknya rumah sakit yang berdiri megah, tidak satu pun mampu menerima seorang ibu yang sedang sekarat. Ini menunjukkan bahwa layanan kesehatan di negeri ini semakin mahal dan berjarak dari rakyat kecil. Kesehatan telah berubah menjadi barang komersial yang hanya bisa diakses oleh mereka yang berduit, sementara yang miskin dibiarkan menderita, bahkan hingga kehilangan nyawa.
BPJS yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi, pada kenyataannya menunjukkan bahwa negara belum mampu memberikan layanan kesehatan yang gratis dan berkualitas. BPJS bersifat wajib, sehingga rakyat dipaksa membayar iuran bulanan. Bahkan dalam kondisi gawat darurat pun, pasien sering kali harus berhadapan dengan urusan administrasi terlebih dahulu sebelum mendapat perawatan. Tak jarang, proses ini menyebabkan keterlambatan penanganan yang berujung pada kematian.
Sebagaimana pernyataan Direktur RS Mekar Sari Bekasi, Eko S. Nugroho, ketika menolak pasien bayi yang membutuhkan NICU:
“Rumah sakit kami memang tidak memiliki ruangan NICU. Kami bukan menolak pasien, tetapi permintaan pasien tidak tersedia,” ujarnya, Rabu (14/6).
Kasus lain terjadi pada Desi Erianti (44), warga Padang, yang meninggal dunia di rumah sakit swasta beberapa jam setelah ditolak IGD RSUD dr. Rasidin Padang dengan alasan “tidak darurat” (31/5/2025).
Semua ini menunjukkan wajah asli kapitalisme dalam dunia kesehatan. Layanan kesehatan sudah menjadi komoditas bisnis, bukan lagi kebutuhan publik. Mayoritas rumah sakit dikuasai pihak swasta, mulai dari tenaga medis hingga sarana, prasarana, dan obat-obatan. Bisnis kesehatan adalah ladang keuntungan besar. Data tahun 2023 menunjukkan jumlah rumah sakit di Indonesia mencapai 3.155 unit. Dari jumlah tersebut,1.545 unit dimiliki swasta, sementara rumah sakit milik pemerintah pusat hanya 242 unit, dan 849 unit milik pemerintah daerah. Artinya, rumah sakit swasta jumlahnya dua kali lebih banyak daripada milik negara.
Padahal, kesehatan adalah hak dasar setiap manusia. Ketika kesehatan diserahkan kepada mekanisme pasar, maka pelayanan pun akan mengikuti logika bisnis: siapa mampu bayar, dialah yang mendapat pelayanan terbaik. Sementara yang tidak mampu? Mereka harus berjuang sendiri.
Solusi Islam
Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara, bukan diperdagangkan. Negara bertanggung jawab penuh menyediakan layanan kesehatan gratis, berkualitas, dan mudah diakses oleh seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Pelayanan kesehatan juga harus steril dari segala bentuk komersialisasi dan industrialisasi.
Rasulullah saw. bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ فِي الْإِسْلَام
“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).
Karena itu, dalam sistem Islam, layanan kesehatan dilakukan dengan proses administrasi yang sederhana, cepat, dan ditangani tenaga medis yang kompeten. Negara wajib memastikan jumlah rumah sakit, dokter, serta fasilitas kesehatan mencukupi sehingga tidak ada alasan pasien ditolak.
Pembiayaan layanan publik, termasuk kesehatan, berasal dari Baitulmal yaitu pengelolaan kekayaan umum seperti hutan, tambang, minyak, dan gas, pemasukan dari jizyah, kharaj, fai’ dan ghanimah, hasil pengelolaan aset milik negara, serta sumbangan sukarela berupa wakaf dan sedekah. Dengan sistem ini, negara mampu memberikan layanan terbaik tanpa menarik pungutan dari rakyat.
Kisah pilu seperti yang dialami Irene Sokoy seharusnya tidak pernah terjadi. Namun, selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan kesehatan, tragedi serupa sangat mungkin terulang. Hanya dengan sistem Islam yang adil dan manusiawi, pelayanan kesehatan akan menjadi hak, bukan lagi barang dagangan.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:
0 Comments: