Oleh: Ni’mah Fadeli
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Tidak ada pasangan yang menginginkan ujung pernikahannya adalah perceraian. Namun sangat disayangkan, angka perceraian di negeri ini makin hari makin meningkat. Perceraian terjadi hampir di semua usia pernikahan, dari yang baru seumur jagung hingga yang sudah puluhan tahun.
Data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kemenag menunjukkan bahwa perceraian paling banyak terjadi pada usia pernikahan 5–10 tahun, mencapai 583.130 kasus. Jumlahnya memang menurun pada tahun-tahun berikutnya, tetapi tidak hilang sepenuhnya. Bahkan pada usia pernikahan di atas 45 tahun masih tercatat 1.843 perceraian.
Menurut data tersebut, faktor utama penyebab perceraian meliputi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, ekonomi, salah satu pihak pergi meninggalkan pasangan, KDRT, judi, mabuk, hukuman penjara, zina, murtad, narkoba, hingga kawin paksa (newsdetik.com, 4/11/2025).
Kenyataan Pahit
Tingginya angka perceraian juga dibarengi dengan rendahnya keinginan untuk menikah. Kenyataan pahit yang disuguhkan media tentang perceraian publik figur selaras dengan realitas di masyarakat. Banyak pasangan yang bukan publik figur pun akhirnya memutuskan untuk bercerai.
Generasi muda menjadi takut untuk menikah. Pilihan untuk berkarier, menambah value diri, dan mengejar berbagai pencapaian pribadi terasa lebih menarik dibandingkan mengikat janji suci.
Fenomena ini tidak terjadi tanpa sebab. Tantangan hidup dalam sistem kapitalisme membuat pola pikir manusia berpusat pada materi. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat pribadi tumbuh tanpa arah yang jelas.
Keputusan menikah atau tidak menikah akhirnya didasari asas manfaat. Dua individu menikah karena merasa ada keuntungan duniawi yang didapat. Pernikahan dilakukan tanpa bekal akidah dan pemahaman agama yang kuat. Ketika ujian pernikahan datang, suami istri hanya mencari solusi secara duniawi, sehingga perceraian menjadi pilihan yang dianggap mudah.
Anak yang hadir dalam pernikahan—yang seharusnya menjadi amanah orang tua—justru menjadi pihak yang menanggung luka akibat perceraian. Tak sedikit anak korban perceraian tumbuh menjadi pribadi yang rapuh, mudah menyerah, bahkan bermasalah. Naudzubillah min dzalik.
Islam dan Pernikahan
وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
(QS Al-Baqarah: 227)
Allah tidak mengharamkan perceraian, tetapi membencinya. Seorang muslim seharusnya tidak mudah memutuskan bercerai. Sebelum menikah, setiap muslim perlu memahami konsekuensi pernikahan. Hal ini tidak mungkin berjalan tanpa dasar akidah dan tsaqafah Islam.
Sistem Islam mempersiapkan hal tersebut. Pendidikan akidah, pemahaman, dan pembekalan tsaqafah terus diberikan sejak usia dini agar setiap individu tumbuh sesuai fitrah sebagai muslim yang taat dan memiliki syakhsiyah Islamiyah.
Lingkungan yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar akan terbentuk ketika negara benar-benar mengurusi rakyatnya. Ada sistem pergaulan Islam yang harus dijaga. Normalisasi pacaran sebagai jembatan menuju pernikahan pun tidak terjadi dalam masyarakat yang diatur Islam.
Ketika ujian pernikahan datang, pasangan akan mencari solusi berdasarkan syariat. Akidah yang kuat disertai pemahaman serta pengamalan syariat Islam akan meminimalisasi terjadinya perceraian.
Penutup
Pemeliharaan negara yang menyeluruh akan membentuk pribadi yang taat syariat dan tidak terpaku pada pencapaian materi seperti kondisi sekarang. Tidak ada riba dalam ekonomi, tidak ada judi daring dan pinjol yang menghancurkan keluarga, tidak ada miras dan narkoba sebagai pemicu retaknya rumah tangga.
Pasangan yang memahami Islam tidak akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, apa pun bentuknya, apalagi melakukan zina. Pribadi yang paham Islam, lingkungan yang menegakkan amar makruf nahi mungkar, serta negara yang benar-benar mengurus rakyatnya akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah.
Keluarga yang utuh akan melahirkan generasi tangguh. Negara yang berkah dan sejahtera pun akan terwujud karena baik rakyat maupun penguasa tidak berorientasi pada dunia yang hanya sementara.
Wallahualam bissawab. [Ni]
Baca juga:
0 Comments: