Headlines
Loading...
Pulang Kampung Demi Menjaga Surgaku

Pulang Kampung Demi Menjaga Surgaku


Oleh. Lilik Yani
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—"Bersyukur masih dikarunia seorang ibu. Jalan surga masih dalam dekapan. Rida Allah tergantung rida ibu. Ibu memilihku untuk menemani hari-hari tuanya." 

Kisah Narsih, teman kecilku di desa yang aku temui saat mudik lebaran tahun lalu.

***

Allah menggerakkan kakiku keliling desa. Pagi itu aku ikut suami yang sudah biasa jalan pagi bakda Subuh. Biasanya, beliau jalan pagi di sawah depan rumah. Saat itu, aku tergelitik mengajaknya jalan keliling desa. Siapa tau bisa ketemu teman-teman atau kerabat untuk diajak ngobrol tentang Islam. Alhamdulillah, suami berkenan dan menikmati jalan pagi berdoa sambil cerita-cerita santai.

"Mas, dulu waktu kecil aku main di sini. Teman-temanku SD rumahnya banyak di gang ini. Semoga ada yang mudik dan bisa bertemu," ucapku.

"Emang boleh kamu main sampai jauh di sini? Gak dimarahi ibu?" tanya suami tak percaya kalau aku bisa main jauh.

Suamiku sangat tahu betapa ibu sangat menjaga anak-anaknya. Jam malam kami pukul 17.00. Semua pintu sudah dikunci, kami boleh aktivitas di dalam rumah saja. Teman sekolah pun tak boleh ke rumah kalau pintu sudah tutup. 

"Aku bermain saat pulang sekolah. Ibu taunya aku main di tetangga dekat yang halamannya luas. Kalau tau aku mainnya jauh, pasti kena marah," jawabku.

Kami terus berjalan menyusuri jalan kampung yang masih tampak banyak sawah. Sesekali mengabadikan kenangan dengan foto berdua, langsung dikirim ke anak-anak. Kami berusaha nyambung rasa dengan mereka, keluarga Nisa di Surabaya dan keluarga Faris di Batam. Foto-foto itu sebagai bukti laporan aktivitas di luar kegiatan rutin. Hehe.

Tak terasa langkah kami sampai masjid kampungku. Ada beberapa ibu-ibu muda sedang duduk menyuapi anaknya. Aku tanya rumahnya Rini, teman SD yang dulu ada yang sekitar masjid.

Alhamdulillah, ternyata temanku di rumah, sedang bersih-bersih sambil menunggu tukang sayur datang. Lalu kami dipersilakan masuk. Senang sekali bisa nostalgia, setelah puluhan tahun lalu. Ketemu sudah nenek-nenek. Banyak temanku SD transmigrasi ke Kalimantan, Sumatera, juga Irian. Jarang yang bisa mudik rutin, meskipun lebaran.

"Mbak, kalau Narsih sekarang sudah balik Ngawi. Terus di sini, soalnya ibunya sakit. Ia yang mengalah pulang. Adik-adiknya masih di Jakarta," kata Rini.

"Lho, iyakah? Mulai kapan?" tanyaku dengan nada terkejut. 

"Sudah setahun katanya. Mbak kunjungi, pasti suka," saran Rini.

"Rumahnya mana, aku lupa!" tanyaku. Sudah banyak perubahan di kampung ini. Rumah-rumahnya sudah bagus-bagus semua. Banyak orang sukses.

Kami pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah Narsih yang ditunjukkan Rini. Beda gang, di ujung, hampir masuk kampung lain.

Ada toko ramai pengunjung, sepertinya ini rumah Narsih. Aku bertanya pada ibu setengah sepuh. Ternyata betul, lalu aku disuruh masuk dulu di rumahnya. Toko dijaga anaknya Narsih.

"MasyaAllah, Mbak, sudah lama pulang kampung, ya? Kok aku nggak dengar?" tanyaku.

Narsih tertawa, ingat zaman masih sekolah. Masih bersama saja aku tak pernah main jauh sampai rumahnya. Apalagi sekarang, aku sudah menetap di Surabaya. Mana tahu kabar desanya? Haha.

"Alhamdulillah, aku kembali menggerakkan ibu-ibu di kampung ini untuk ngaji, Mbak? Dulu tak tinggal, kajian stagnan. Tak ada yang menggerakkan!" kisah Narsih.

"Mbak keren, pintar sosialisasi ke masyarakat. Guru ngaji anak-anak, juga ibu-ibu. Hebat. Oya, saya dengar dari Rini, Mbak Narsih pulang kampung seterusnya, mau menjaga ibu sakit. Benarkah, Mbak?" tanyaku penasaran.

Narsih merapikan meja, sambil menaruh teh hangat yang dibuat anaknya untuk suguhan aku dan suami. 

"Monggo, Pak, diminum tehnya. Mbak, yuk sarapan," ajak Narsih ramah.

"Kalau aku makan di sini, ibuku bisa marah karena masakannya nggak dimakan," jawabku diiringi tawa bersama. Narsih cukup mengenal watak ibuku.

"Ibuku sakit, Mbak. Kena stroke lebih setahun gak bisa ke mana-mana. Semua dilakukan di kasur. Kakakku di Kalimantan, adik-adik di Jakarta. Ada satu yang di Ngawi, tapi nggak kuat kalau merawat ibu sendiri. Tutik badannya kecil, tak kuat untuk mengangkat Ibuk. Jadi minta saya pulang untuk merawat berdua," ujar Narsih.

"Mbak sukses di Jakarta. Ditinggal semuanya? Anak-anak, suami, ikut pulang kampung semua ya, Mbak? Rumahnya?" tanyaku lagi.

"Namanya keluarga, satu mudik maka pasangan, anak-anak ikut mudik. Rumah ditempati Eka, anak sulungku yang sudah menikah," lanjut Narsih.

"Mbak hebat, rela berkurban untuk ibu. Lalu di sini kerja apa, Mbak? Suami tinggalkan kerja juga?" tanyaku penasaran.

"Rezeki dari Allah. Semua sudah diatur rapi. Yang penting mau gerak, ada saja rezekinya. Itu tadi, di depan ada toko sembako kecil. Sebelahnya aku buka jahitan. Suami ternak ayam dan kambing. Insyaallah ada saja rezekinya," kisah Narsih meski pelan diucapkan, sungguh menamparku. Gerimis hatiku.

"Ibu bagaimana kondisinya, Mbak?" tanya suami.

"Alhamdulillah, Pak. Meski tak bisa ke mana-mana. Ibu sehat, segar, makan enak. Tapi nggak mau diajak ke dokter, didatangkan fisioterapi tidak mau. Tak ada dorongan sembuh dari dalam, terkesan pasrah. Padahal anak-anaknya sudah mengupayakan, agar bisa latihan berjalan," jawab Narsih panjang lebar.

"Mbak hebat, sambil merawat ibu masih bisa membimbing ngaji ibu-ibu. Jadi gantian sama Tutik yang jaga ibu, ya Mbak?" tanyaku.

"Iya betul, Mbak. Kasihan kalau Tutik sendiri gak kuat. Jadi aku sebagai anak perempuan tertua, harus pulang demi merawat ibu. Ya, aku pulang kampung untuk menjaga ibuku, surgaku, Mbak!" jawab Narsih sambil senyum tulus.

***

Jadi berkaca pada diriku sendiri. Surgaku di rumah sendirian. Usia lebih 80 tahun di rumah penuh kenangan. Tak terhitung berapa kali aku mengajak beliau ikut ke Surabaya? Begitu pula anak-anak ibu lainnya. Semua menawarkan agar ibu tidak sendirian. Boleh bergantian agar tidak bosan. Tapi ibu belum berkenan. Ibu merasa masih kuat dan tak mau meninggalkan rumah indah penuh kenangan.

Kami bergantian datang untuk menjenguk. Membawakan apa yang beliau pesan. Membelikan apa yang beliau perlukan dan inginkan. Ibaratnya, hanya sepintas dalam cerita pun, kami berupaya maksimal mengabulkan keinginan ibu.

Tapi untuk haji? Adikku kurang berkenan. Umrah sudah pernah. Kalau haji medannya berat, adik sudah melewatinya tahun lalu. Jika medan memungkinkan, adik izinkan dan siap membiayai. Insyaallah. Tapi karena medan sulit, adik tak tega. Ibu diam, menerima keputusan.

Impian ibu lainnya, kalau aku pensiun disuruh balik ke Ngawi. Ya Allah, semua agenda di Surabaya. Tubuhku sudah cocok hawa Surabaya. Meski belum setuju tapi aku mengiyakan.

"Inggih, insyaallah, Bu. Ibu sehat ya, jangan banyak pikiran. Kalau mau ikut aku sekarang, yuk kita ke Surabaya. Saya banyak acara ngaji, yuk ikut aku ngaji seperti dulu. Di rumah ada Habibi, ada kembar, bisa jadi hiburan, tidak sepi," rayuku.

Allahku, maafkan hamba-Mu. Belum bisa menemani ibuku. Allahku, titip jaga ibuku. Titip jaga surgaku sebaik mungkin. Jangan pernah ada kesedihan di hatinya. Beliau sangat senang membaca firman-Mu, meski hanya terjemah. Beliau akan menyampaikan apa yang beliau ketahui, pada siapa saja anak cucu yang mengunjunginya.

Titip ya Allah. Titip jaga surgaku. Ibuku yang sangat baik, cintanya tanpa batas.

"Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kamaa rabbayanii shagiiraa."

Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu aku kecil. 

Wallahualam bissawab.

Surabaya, 16 Juli 2025 [An]

Baca juga:

0 Comments: