Headlines
Loading...

Oleh. Maya Rohmah

Jika berbicara soal beribadah haji (atau umrah) ke tanah suci, tentu aku ingin. Sangat ingin! Meskipun rasanya biaya untuk ke sana tak terjangkau oleh orang sepertiku, tetapi impian itu tetap kupelihara dengan keras kepala. Sampai kini. Dengan bekal kepapaan ini, izinkan aku merindukan-Mu. Ilmu pun aku tak punya. Ilmu agama masih sangatlah kurang. Maka dengan bekal kebodohan ini, izinkan pula aku merindukan-Mu.
.
.
Berawal dari Imajinasi

Dari sedikit banyaknya buku-buku tentang haji dan umrah yang aku baca, juga dari sedikit banyaknya pengalaman orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji dan umrah yang kudengar ..., aku membayangkan nyaris setiap hari, adegan di mana aku tengah melakukan thawaf, sa'i, wukuf, melontar jumroh, dan ziarah ke tempat-tempat bersejarah bersama jutaan muslimin dan muslimat lainnya.

Di Arafah, aku sedang bertafakur di terik matahari. Perlahan, aku dan jemaah kolosal itu bergerak ke Muzdalifah, seiring tumbangnya bola api di kaki langit sebelah barat.
Di lantai pualam Masjidil Haram, aku tersungkur, sujud dan menangis.

Dengung dzikir dan talbiyah dengan lantang keluar dari mulutku dan jemaah lain hingga melontar jumrah aqabah pada 10 Dzulhijjah.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، 
لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
 إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ
 لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaika-llâhumma labbaîk, labbaika lâ syarîka laka labbaîk. 
Innal ḫamda wan ni‘mata laka wal mulk. 
Lâ syarîka lak(a)

Artinya, “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
.
.
Doa adalah Senjataku

Selain mengimajinasikan bayanganku ketika melakukan keseluruhan rangkaian ibadah haji,  aku pun merutinkan berdoa khusus untuk impian berhajiku setelah shalat di waktu-waktu yang mustajab.

Bagiku, doa adalah senjata paling kuat untuk memperoleh apa yang kuidam-idamkan. Doa juga merupakan senjata paling kuat untuk menolak segala hal yang tidak diinginkan. Dan aku percaya, doa meringankan bencana dan malapetaka yang sedang menimpa.

Doa inilah senjata satu-satunya yang kumiliki. Sehingga, tidak ada alasan bagiku malas untuk berdoa dan memohon kepada Allah Swt.

Setiap kali berdoa aku selalu mendapat sebuah harapan, sebuah pencerahan, dan sarana terapi diri. Yaitu, obat pelipur lara bagi hati yang gelisah. Saat berdoa, rasanya tentraaam sekali. Maka, doa yang keluar dari lisan ini pun terasa penuh kesungguhan. Semoga ini menjadi jalan dikabulkannya doaku.

Abu Darda' pernah berkata, "Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Karena, siapa pun yang banyak mengetuk pintu, pasti akan dibukakan baginya." (HR Ibnu Abi Syaiba)

Insyaallah akan ada selalu jalan ke luar dari ketiadaan finansial, kurangnya ilmu agama, antrean berangkat haji yang begitu panjang, dan masalah lainnya. Jika Allah menciptakan rintangan, pasti Allah juga menciptakan solusinya.

Ketiadaan finansial, aku atasi dengan menabung dan mengembangkan berbagai usaha. Kurangnya ilmu agama, kuatasi dengan mengkaji Islam secara rutin. Sementara masalah antrian haji yang panjang? Nah, ini butuh upaya yang tersistem dan ideologis karena berkaitan dengan penguasa. Untuk hal ini, aku berusaha berdakwah dan bergabung dengan suatu jemaah dakwah yang mengopinikan ke tengah-tengah umat berbagai problematika masyarakat dan solusinya, termasuk masalah kisruh ibadah haji ini.

Soal menabung, aku punya cerita tersendiri. Sebenarnya, aku sudah menabung khusus untuk ibadah haji sejak anak sulungku berumur lima tahun. Namun, saat usianya sepuluh tahun, aku harus menarik tabunganku di sebuah bank syariah. Ibu pemilik kontrakan tiba-tiba mengatakan bahwa bulan depan rumah yang kami sewa, tidak bisa lagi ditempati. Aku sempat shock, apalagi saat itu,  kami sedang tak mempunyai tabungan lain. Akhirnya, aku terpaksa menarik semua tabungan haji yang kukumpulkan selama lima tahun atas nama aku dan suami yang masing-masing baru terkumpul tujuh juta. Total 14 juta. 

Uang itu aku gunakan untuk membangun rumah yang sangat-sangat sederhana. Sebuah rumah tumbuh. Awal dibangun hanya terdiri dari ruang depan, satu kamar tidur, dapur, dan kamar mandi, berlantai tanah, daun pintu dan jendela dari spanduk dan papan. Seiring waktu berlalu, setiap kali ada  uang yang cukup untuk membayar tukang dan bahan bangunan, rumah itu direnovasi sedikit demi sedikit, bagian demi bagian. Benar-benar sebuah rumah tumbuh!

Sambil membangun rumah, aku dan suami mulai menabung lagi untuk menunaikan rukun Islam kelima. Tetapi kali ini tidak disimpan di bank. Kami melakukan cara lain. Semoga Allah meridai upaya ini. Aamiin.

Semoga Allah memanggil kami saat kami masih dalam keadaan sehat. Menjalaninya dengan hati bahagia, bersama anak-anak kami. Juga bersama ibu mertua, orang tua satu-satunya yang masih ada. 

Berawal dari imajinasi, dibuktikan dengan berbagai ikhtiar, dan diperkuat dengan doa, tiada yang tidak mungkin di kolong langit ini. Tinggal percaya saja pada Allah. [ ]

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: