Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Media online santer memberitakan bahwa saat ini kelompok radikal kembali menyasar anak-anak dan remaja untuk direkrut. Kombes Pol. Hendra, Kabag Analis Baintelkam Polri, mengklaim kelompok radikal memanfaatkan beragam kerentanan pelajar, mulai dari lingkungan yang tidak kondusif, tekanan ekonomi keluarga, hingga ketatnya persaingan kerja yang menimbulkan kecemasan masa depan. Menurutnya, hal itu membuka celah bagi proses perekrutan yang semakin masif dan terstruktur.
(tribratanews.jabar.polri.go.id, 25 November 2025)
Di sisi lain, Pemuda Panca Marga (PPM) Jawa Barat mendorong penguatan nilai patriotisme dan nasionalisme di sekolah. Mereka berharap nilai tersebut masuk sebagai kurikulum atau minimal menjadi muatan lokal. Langkah itu penting untuk membangun ketahanan ideologis pelajar di tengah disrupsi digital yang kian liar.
(harapanrakyat.com, 28 November 2025)
Dua fakta di atas menunjukkan satu kesimpulan besar, bahwa anak-anak kita hidup dalam ruang sosial yang rapuh, mudah disusupi, dan sering menjadi korban kekerasan, baik fisik, mental, maupun ideologis. Pembentukan Satgas Sekolah adalah langkah taktis, tetapi jauh dari cukup bila tidak dibarengi pembenahan sistemik pada cara kita mendidik generasi. Kerapuhan ideologi dan karakter anak menjadikan mereka sasaran empuk bagi kekerasan, baik berupa terorisme maupun bullying antarpelajar.
Akar Ideologis Kekerasan
Bullying bukan persoalan sepele. Fenomena ini memicu gangguan kesehatan mental, depresi, penurunan prestasi, hingga risiko bunuh diri. Kondisi ini kian sering muncul dalam laporan kesehatan anak di berbagai daerah. Permasalahannya terus berulang dan menimbulkan pertanyaan besar: mengapa kita gagal menghentikannya?
Kita sering melihat keluarga kewalahan mendampingi anak. Lingkungan masyarakat pun semakin permisif. Akses internet terbuka luas tanpa kontrol. Namun semua itu sebenarnya hanya gejala, bukan akar masalahnya.
Akar persoalan justru terletak pada melemahnya nilai moral dan spiritual akibat cara pandang sekuler-liberal. Cara pandang ini memisahkan agama dari kehidupan sosial. Ia menjadikan kebebasan sebagai nilai utama, sementara etika dan adab berada di urutan belakang. Akibatnya, batas antara kebaikan dan keburukan menjadi kabur.
Lebih jauh, sekolah yang seharusnya menjadi pusat pembinaan karakter, sering tidak mampu menanamkan akhlak secara utuh. Kurikulum pendidikan lebih menekankan aspek kognitif dan kompetensi kerja, sementara pembentukan adab hanyalah pelengkap. Arus globalisasi yang membawa budaya instan, hedonis, dan individualis telah menambah kerentanan ini.
Pada titik ini jelas bahwa bullying bukan masalah individu, tetapi masalah sistemik yang lahir dari ideologi yang menempatkan manusia tanpa arah moral.
Kekerasan antarpelajar semakin meningkat karena pengaruh sosial yang mengabaikan nilai luhur. Remaja tumbuh dalam lingkungan yang membiasakan ejekan, hinaan, dan kekerasan sebagai hal biasa. Gadget menjadi ruang perundungan baru, lebih sunyi tetapi lebih tajam.
Keluarga yang sibuk tidak lagi menjadi tempat curhat. Masyarakat kehilangan budaya saling menasihati. Negara pun lebih fokus pada penindakan, bukan pembinaan moral. Maka wajar bila perundungan begitu sulit dihentikan. Sistem pendidikan tidak membentuk karakter kuat, sementara ideologi sekuler-liberal membiarkan generasi muda tumbuh tanpa panduan moral yang kokoh.
Solusi Islam
Berbeda dari ideologi yang memisahkan moral dari kehidupan, Islam menawarkan solusi menyeluruh. Nilai agama menjadi fondasi bagi pola pikir, karakter, dan aturan hidup. Tiga pilar pembinaan generasi dalam Islam, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara, harus saling bekerja secara harmonis.
1. Keluarga: Pondasi Pertama Akhlak Anak
Rasulullah saw. bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)
Hadis ini menunjukkan bahwa mendidik anak adalah amanah besar. Orang tua wajib memberi teladan dan mengajarkan adab sejak dini.
2. Masyarakat: Ruang Sosial yang Menjaga Akhlak
Islam menekankan budaya amar makruf nahi mungkar. Masyarakat wajib menegur kesalahan, melindungi yang lemah, dan tidak memberi ruang bagi kekerasan. Suasana sosial yang baik melahirkan karakter yang baik.
3. Negara: Sistem Pendidikan Islam yang Kaffah
Negara dalam Islam bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan yang membentuk iman, akhlak, dan pola pikir yang lurus; menjaga lingkungan sosial yang bersih dari konten merusak; dan menyediakan sistem perlindungan anak secara menyeluruh.
Allah Swt. berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini menegaskan peran negara, masyarakat, dan keluarga dalam memastikan generasi tumbuh dengan keimanan dan akhlak.
Kasus antara Abu Dzar al-Ghifari dan Bilal bin Rabah adalah contoh nyata. Ketika Abu Dzar menyinggung Bilal dengan ucapan yang menyakitkan, Rasulullah saw. menegurnya tegas, "Engkau adalah seseorang yang masih ada sifat jahiliah di dalam dirimu." (HR. Bukhari, no. 30)
Abu Dzar pun menyesal dan meminta maaf dengan kerendahan hati. Bilal memaafkannya dengan lapang dada. Inilah metode Islam, melalui nasihat, teguran, dan pembinaan akhlak, bukan pembiaran.
Penutup
Kasus perundungan dan penetrasi ideologi radikal menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Kita tengah mempertaruhkan masa depan generasi. Sistem sosial yang gagal menanamkan nilai moral tidak akan mampu menciptakan anak-anak berkarakter mulia.
Saatnya kita berbenah. Pendidikan harus kembali menjadikan nilai agama, kemanusiaan, dan akhlak mulia sebagai fondasi. Keluarga harus menjadi ruang cinta dan penguatan. Masyarakat harus menjadi ruang saling menjaga. Negara harus menjadi pelindung akhlak generasi.
Jika kita gagal memperbaiki fondasi ini, kekerasan hanya akan berganti wajah, sementara generasi kita terus terluka. [My]
Baca juga:
0 Comments: