PHK Membesar, Bagaimana Nasib Tenaga Kerja Jabar
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pemerintah Provinsi Jawa Barat merilis data terbaru tentang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sepanjang Januari hingga Oktober 2025. Total 15.657 pekerja kehilangan pekerjaan. Pemprov menyebut bahwa mayoritas PHK berasal dari berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang sering berujung pada siklus kontrak yang diperpanjang kembali (jabar.antaranews.com, 26 November 2025).
Angka tersebut bukan sekadar statistik. Di baliknya ada keluarga yang kehilangan nafkah, anak-anak yang kehilangan rasa aman, serta masyarakat yang semakin rentan menghadapi gejolak ekonomi.
Fenomena PHK ini menunjukkan pola yang berulang, bahwa pekerja selalu menjadi pihak pertama yang menanggung risiko ketika ekonomi terguncang. Situasi ini menegaskan bahwa struktur ketenagakerjaan kita masih rapuh dan tidak berpihak pada stabilitas hidup pekerja.
PHK massal di Jabar bukan hanya akibat berakhirnya kontrak, tetapi merupakan konsekuensi logis dari sistem ekonomi yang menempatkan pekerja sebagai beban, bukan sebagai manusia yang haknya harus dijamin negara.
Kapitalisme dan Menyusutnya Peran Negara
Ketika penguasa hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator untuk kepentingan pemodal, hubungan antara penguasa dan rakyat berubah menjadi hubungan bisnis semata. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak lebih dari penjamin kelancaran pasar, bukan pengurus urusan rakyat.
Hal ini tampak jelas ketika gelombang PHK terjadi. Negara tidak hadir sebagai pelindung, melainkan hanya sebagai pihak yang mengumumkan data. Paradigma Kapitalisme membuat kesejahteraan rakyat tidak lagi berada di tangan negara, tetapi di tangan korporasi yang mengutamakan keuntungan.
Perusahaan swasta bekerja dengan logika sederhana, yaitu meminimalkan biaya dan memaksimalkan laba. Ketika produksi turun, langkah tercepat untuk menjaga neraca adalah mengurangi pekerja. Dalam kerangka Kapitalisme, pekerja hanyalah salah satu faktor produksi, setara dengan mesin atau bahan baku. Selagi tidak diperlukan, mereka harus dipangkas.
Liberalisasi ekonomi memperparah situasi ini. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya menjadi penguat negara, justru dilepas kepada swasta dan asing. Janji pembukaan lapangan kerja hanya terlihat di permukaan. Pada praktiknya, perusahaan swasta beroperasi dengan prinsip efisiensi absolut yang menjadikan tenaga kerja tidak lebih dari instrumen.
Ketika Kapitalisme mengatur denyut ekonomi, kesejahteraan rakyat menjadi efek samping, bukan tujuan. Maka PHK massal menjadi konsekuensi rutin. Rakyat dipaksa hidup dalam ketidakpastian yang terus berulang.
Islam: Sistem yang Menempatkan Manusia sebagai Subjek, bukan Variabel Produksi
Islam membawa paradigma yang berbeda. Islam memandang pekerja sebagai manusia dengan martabat. Negara bertanggung jawab menyediakan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyat.
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. Al-Bukhari, no. 7138).
Al-Qur’an juga menegaskan peran negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat, “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu” (TQS. An-Nur: 33).
Dalam sistem Islam, negara tidak boleh melepaskan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud, no. 3477; Ibnu Majah, no. 2472).
Hadis ini menegaskan bahwa SDA adalah milik umum dan negara wajib mengelolanya demi kepentingan rakyat. Pemerintah menyerap tenaga kerja secara besar-besaran dan menyediakan layanan publik gratis.
Islam juga menjamin akad kerja yang jelas melalui akad ijarah, yang memastikan keadilan antara pekerja dan pemberi kerja. Negara menjamin upah layak, perlindungan kerja, serta jaminan kebutuhan dasar ketika industri mengalami gejolak.
Para khalifah di masa keemasan Islam menunjukkan praktik nyata bagaimana negara menyejahterakan rakyat.
Khalifah Umar bin Khattab ra. membuka lapangan kerja luas melalui pengelolaan tanah negara, irigasi, dan pembangunan infrastruktur publik. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendistribusikan kekayaan negara hingga pada masanya hampir tidak ditemukan rakyat yang layak menerima zakat.
Negara Islam memadukan keadilan politik, distribusi harta yang jernih, larangan riba, serta sistem keuangan berbasis dinar dan dirham. Akibatnya, perekonomian stabil, dunia usaha berkembang sehat, dan tenaga kerja terserap secara masif.
Semua ini terwujud karena Islam diterapkan sebagai sistem hidup secara menyeluruh, bukan sebatas nilai moral.
Penutup: Jalan Keluar bukan Sekadar Data, tetapi Sistem
PHK 15 ribu pekerja di Jabar adalah alarm keras. Bukan hanya karena angka yang tinggi, tetapi karena sistem yang membuat rakyat selalu berada di tepi jurang ketidakpastian.
Kapitalisme menciptakan negara yang mengecil, swasta yang membesar, dan rakyat yang semakin rapuh. Islam menawarkan sistem yang membalik semua itu, yaitu negara yang kuat, SDA milik rakyat, industri swasta yang adil, dan pekerja yang terlindungi.
Jika kita ingin menghentikan siklus PHK yang terus berulang, kita tidak cukup hanya memperdebatkan data. Kita harus berani meninjau ulang sistem yang menjadi fondasi negeri ini. Karena kesejahteraan bukan sekadar angka, tetapi hak setiap manusia. Wallahu a’lam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: