Mitigasi Komprehensif Hanya dengan Sistem Islam
Oleh: Kikin Fitriani
(Aktivis Muslimah, Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Di penghujung tahun berbagai wilayah di Indonesia kembali dilanda bencana banjir, tanah longsor, erupsi gunung berapi, dan pergerakan tanah akibat curah hujan tinggi disertai angin kencang. Banjir bandang terparah terjadi di Sibolga, Hutagodang Tapanuli, Padang, dan Aceh Utara. Di Jawa, longsor melanda Cibeunying Cilacap dan Banjarnegara, sementara Gunung Semeru mengalami erupsi yang memicu kerusakan dan kepanikan masyarakat.
Sayangnya bencana yang berulang tidak menjadikan penguasa dan pemerintah melakukan muhasabah serius. Mitigasi bencana berjalan lambat karena lemahnya upaya pencegahan dan penanganan terencana. Alih-alih fokus pada mitigasi sebelum bencana, pejabat lebih banyak beretorika dan baru bereaksi setelah bencana melalui bantuan darurat dan evakuasi.
Akibat kelalaian ini, korban terus berjatuhan. Banjir dan longsor merenggut 24 nyawa di Sumatra Utara, sementara puluhan masih hilang di Sibolga (Tribunnews, 27/10/2025). Longsor Cibeunying menelan 21 korban meninggal dan dua orang hilang (Suara Merdeka, 26/10/2025).
Dampak bencana tidak hanya berupa korban jiwa, tetapi juga kerugian material, lumpuhnya infrastruktur, gangguan ekonomi, kesulitan akses air bersih, masalah kesehatan, dan trauma psikologis. Kerusakan lingkungan yang berulang menunjukkan bahwa negara tidak pernah serius dalam penanganan mitigasi.
BNPB dan BPBD menghadapi kesulitan evakuasi akibat cuaca ekstrem, hujan lebat, medan sulit dijangkau, infrastruktur rusak, serta keterbatasan anggaran dan fasilitas. Pemerintah justru sibuk mengejar proyek infrastruktur dan alih lahan, sementara wilayah langganan bencana tetap diabaikan.
Banjir bandang besar di Sumatra Utara, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari kerusakan hutan akibat penebangan kayu masif dan pertambangan emas PT Agincourt di konsesi tambang emas Martabe (BBC News Indonesia, 26/10/2025). Kerusakan ekologis bukan semata akibat hujan, tetapi karena keserakahan manusia dalam sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme adalah sistem destruktif yang melahirkan kerakusan demi keuntungan. Deforestasi di Kalimantan, Sumatra, dan Papua menunjukkan bagaimana korporasi bebas menguasai lahan serapan demi bisnis. World Risk Report 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia.
Namun kondisi ini tidak dijadikan dasar kebijakan pemimpin untuk menjaga ekosistem lingkungan. Atas nama pembangunan, penguasa memberikan ruang luas bagi oligarki tanpa memedulikan keselamatan rakyat.
Lambannya mitigasi bencana berakar dari penerapan kapitalisme materialistik yang hanya menilai keberhasilan dari keuntungan ekonomi tanpa memedulikan kerusakan lingkungan dan nyawa manusia. Aset strategis seperti hutan diserahkan kepada pemilik modal sehingga perlindungan alam hilang dan rakyat menanggung akibatnya.
Islam menawarkan mitigasi komprehensif dengan prinsip menjaga jiwa manusia sebagai amanah negara. Negara wajib melindungi rakyat dan mengelola sumber daya alam tanpa eksploitasi. Allah berfirman dalam QS Al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Begitu pula QS Ar-Rum ayat 41 yang mengingatkan bahwa kerusakan alam terjadi akibat ulah tangan manusia. Dalam sistem Khilafah, khalifah bertindak sebagai pelindung rakyat, memastikan pembangunan tidak eksploitatif dan menjamin kesiapsiagaan bencana dengan teknologi, edukasi, dan infrastruktur memadai tanpa bergantung pada modal asing.
Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi solusi seluruh problem kehidupan dan penyelamat manusia di dunia dan akhirat.
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:
0 Comments: