Headlines
Loading...
Ironi Rokok yang Membakar Kesadaran

Ironi Rokok yang Membakar Kesadaran

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Jawa Barat kembali menyita perhatian publik. Bukan karena inovasi, tetapi karena perannya sebagai jalur strategis peredaran rokok ilegal yang kian masif. Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Jawa Barat, Setiawan, mengungkapkan bahwa hingga November 2025, sebanyak 88 juta batang rokok ilegal disita dan dimusnahkan di berbagai wilayah provinsi ini. (bandung.kompas.com, 26 November 2025).

Angka itu bukan sekadar data. Angka itu adalah potret kerentanan. Ia mencerminkan betapa luasnya celah hukum, betapa kuatnya jejaring ekonomi ilegal, dan betapa lemahnya kontrol negara di jalur distribusi yang seharusnya aman.

Kasus ini bukan hanya urusan penyitaan, tetapi gambaran dari pola masalah yang terus berulang. Rokok ilegal beredar karena permintaan tinggi. Permintaan tinggi karena harga rokok legal kian melambung. Dan harga itu naik karena beban cukai yang terus meningkat.

Masalah rokok ilegal bukan semata kriminalitas, tetapi buah dari sistem ekonomi yang memandang pendapatan negara lebih penting dibanding keberlangsungan hidup rakyat.

Ketika Kapitalisme Bertindak

Pemusnahan rokok ilegal sejatinya terjadi bukan hanya karena zat nikotinnya yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan, tetapi karena cukai tidak masuk ke kas negara. Ini berbeda dengan rokok legal. Meskipun sama-sama menganggu kesehatan, rokok legal tetap dijual bebas karena menyumbang triliunan rupiah bagi pendapatan negara.

Di sinilah letak ironi terbesar. Bukan kesehatan rakyat yang menjadi fokus utama.
Bukan keselamatan generasi yang berada di garis depan. Melainkan stabilitas kas negara dalam kerangka ekonomi kapitalistik yang menempatkan materi sebagai orientasi.

Kapitalisme memandang negara sebagai penjaga sistem ekonomi, bukan penjaga rakyat. Rokok menjadi ironi paling jelas, produk yang terbukti merusak tubuh ini tetap dipelihara karena ia mendatangkan pemasukan.

Selanjutnya, kita perlu bertanya: bagaimana mungkin negara begitu keras terhadap rokok ilegal, tetapi tetap memberi ruang luas bagi rokok legal?
Jawabannya sederhana: dalam logika kapitalisme, masalah utamanya bukan bahaya rokok, tetapi hilangnya potensi pendapatan.

Ketika kita memperhatikan kasus ini lebih dalam, terlihat jelas bahwa sistem ekonomi yang berlaku menempatkan rakyat sebagai objek. Negara bertindak tegas bukan karena rokok ilegal merusak, tetapi karena negara kehilangan bagian dari keuntungan.
Sementara itu, dampak kesehatan masyarakat hanya menjadi catatan kaki.

Inilah wajah industri yang tumbuh dalam paradigma kapitalisme, bahwa produksi berjalan selama menghasilkan laba, sekalipun menimbulkan bahaya bagi manusia.

Dalam sistem ini, barang berbahaya tidak serta-merta ditutup, melainkan dikelola, diatur, dan dipajaki. Hasilnya, negara memperoleh pendapatan, sementara masyarakat menanggung risiko.

Solusi Islam 

Saya teringat firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 168, “Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik.”

Ayat ini memberi pesan besar, bahwa halal saja tidak cukup, tetapi juga harus baik. Islam tidak hanya fokus pada status hukum, tetapi juga pada kemaslahatan.

Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibn Majah no. 2340)

Hadis ini menutup celah bagi produk yang membahayakan. Jika suatu barang merusak tubuh atau akal, negara wajib menghentikan produksinya. Bukan mengatur kadar bahayanya, bukan memungut cukai, tetapi menghentikan.

Karena itu, dalam sistem Islam, industri berdiri di atas asas kemaslahatan. Negara mengawasi ketat setiap produk yang beredar. Jika produk tersebut membahayakan rakyat, maka negara melarang produksi dan distribusinya total.

Dalam Islam, negara tidak mengenal cukai seperti dalam sistem kapitalisme.
Pendapatan negara tidak bergantung pada barang-barang berbahaya atau industri adiktif.

Sebagai sumber pendapatan, negara mengelola sumber daya alam, tanah, energi, dan harta milik umum. Selain itu, negara memperoleh pemasukan dari zakat, fai’, kharaj, jizyah, usyur, dan sumber-sumber halal lain. Karena itu, negara tidak membutuhkan strategi ekonomi yang bertentangan dengan perlindungan rakyat. Negara tidak menambal APBN lewat produk yang merusak.

Sejarah mencatat bagaimana Umar bin Abdul Aziz memerintah. Ia melarang segala bentuk pungutan yang membebani rakyat tanpa alasan syar’i. Ia memperkuat sumber pendapatan yang halal dan menutup pintu bagi pemasukan yang bertentangan dengan syariat.

Rasulullah saw. pun mencontohkan bahwa negara bertindak sebagai pengurus.
Sabdanya, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari no. 7138)

Dengan prinsip ini, negara Islam memastikan industri yang tumbuh hanya industri yang membawa kebaikan. Tidak ada ruang bagi industri yang merusak. Tidak ada justifikasi ekonomi untuk produk yang membahayakan.

Penutup

Kasus rokok ilegal di Jawa Barat adalah cermin besar. Ia menunjukkan betapa negara masih terikat pada logika ekonomi kapitalistik yang menjadikan materi sebagai ukuran kebijakan. Ia juga menunjukkan betapa rakyat sering kali hanya menjadi penonton dalam sistem yang mengatur hidup mereka.

Tetapi Islam memberi arah berbeda. Ia mengajarkan bahwa negara hadir bukan sebagai pemungut cukai, tetapi sebagai penjaga keselamatan rakyat, yang menuntun industri berjalan hanya pada jalur yang baik, sehat, dan maslahat.

Kini, kita memiliki pilihan, terus berjalan di bawah sistem yang menempatkan keuntungan di atas kesehatan, atau kembali pada sistem yang menempatkan manusia pada pusat kebijakannya. [My]

Baca juga:

0 Comments: