Headlines
Loading...
Geothermal dan Kapitalisasi Sumber Daya Alam

Geothermal dan Kapitalisasi Sumber Daya Alam

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Sebagai provinsi berpenduduk terbesar dan berindustri tinggi, Jawa Barat memikul kebutuhan energi yang terus melonjak. Pemerataan energi bersih menjadi kunci utama bagi pertumbuhan ekonominya. Pemerintah lalu menggenjot pengembangan panas bumi sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Langkah ini bertujuan memperkuat ketahanan energi sekaligus mempercepat transisi menuju energi rendah emisi.

Jawa Barat berpotensi menjadi “pusat energi bersih panas bumi” karena memiliki sumber daya geothermal terbesar di Indonesia. (industri.kontan.co.id, 28 November 2025)

Optimisme publik terhadap geothermal sebagai sesuatu yang wajar. Energi bersih memang menarik dan relevan. Namun, proyek besar ini sebagai pekerjaan kompleks yang menyentuh banyak aspek: ekonomi, ekologi, kebijakan publik, bahkan ideologi.

Pemanfaatan geothermal sangat bergantung pada kepemimpinan politik dan skema tata kelola SDA. Geothermal bisa menjadi pendorong ekonomi lokal, jika pemerintah membuat regulasi yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Potensi geothermal itu besar, tetapi kebaikannya bergantung pada sistem yang mengatur.

Kapitalisasi SDA

Panas bumi sering dipromosikan sebagai energi hijau. Namun saya melihat problem besar mengintai, yaitu kapitalisasi sumber daya alam. Proyek energi bersih tidak otomatis bebas dari kepentingan kapital. Bahkan, eksploitasi SDA dengan label “hijau” justru kian marak di era transisi energi.

Kapitalisme bekerja dengan logika sederhana, yakni ambil, kuasai, dan maksimalkan keuntungan. Sumber energi apa pun, entah fosil atau geothermal, berubah menjadi komoditas yang diperebutkan. Klaim ramah lingkungan kerap menjadi selimut manis. Di baliknya tersimpan motif akumulasi modal yang berlangsung tanpa melihat dampak sosial dan ekologis.

Saat negara tunduk pada paradigma sekularisme-kapitalisme, tata kelola SDA mudah bergeser dari mandat menyejahterakan rakyat menjadi sekadar menjaga iklim investasi. Pada titik inilah potensi bumi justru menyimpan ancaman kerusakan baru.

Kita perlu jujur bahwa banyak proyek berlabel hijau tetap memicu konflik ruang hidup, kerusakan tanah, dan perubahan sosial di desa-desa. Siklus ini terjadi karena logika pengelolaan masih sama, bahwa SDA dikuasai segelintir kepentingan ekonomi, bukan dikelola sebagai amanah publik.

Selama orientasi pembangunan mengikuti kacamata sekularisme-kapitalisme, kita akan menyaksikan eksploitasi yang terus berulang. Sumber energi akan berubah menjadi komoditas, sementara rakyat tetap menjadi penonton. Maka, geothermal bisa menjadi energi bersih di atas kertas, tetapi tidak selalu bersih secara ideologis, ekologis, atau sosial.

Solusi Islam

Islam menawarkan prinsip yang jelas dalam mengatur sumber daya alam. Islam menempatkan energi, termasuk panas bumi sebagai kepemilikan umum yang harus dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara langsung.

Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR Abu Dawud, no. 3477)

Api dalam hadis ini dipahami ulama sebagai segala sumber energi. Artinya, panas bumi tidak boleh diswastakan atau diserahkan pada korporasi besar yang mengejar laba. Negara wajib mengelolanya dan memastikan manfaatnya kembali kepada rakyat secara penuh.

Al-Qur’an menegaskan, “Dan Kami telah menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al-Hadid: 25)

Ayat ini menunjukkan bahwa semua sumber daya alam adalah amanah yang harus digunakan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk kepentingan segelintir elite.

Rasulullah saw. mempraktikkan tata kelola SDA yang menjamin pemerataan. Para khalifah setelah beliau melanjutkan tradisi ini. Umar bin Khattab menolak privatisasi sumur dan padang gembalaan karena khawatir menghilangkan hak rakyat. Dalam masa Kekhilafahan Abbasiyah dan Utsmaniyah, negara mengelola tambang besar secara sentral sehingga hasilnya masuk ke Baitul Mal dan kembali ke masyarakat melalui layanan publik.

Islam menuntut negara hadir sebagai pengelola, pelindung, dan penjamin kesejahteraan, bukan sebagai fasilitator pasar.

Penutup

Potensi geothermal Jawa Barat sangat besar. Namun besarnya potensi tidak otomatis menghasilkan keadilan. Kita membutuhkan sistem yang jernih, berlandaskan nilai, dan berpihak pada rakyat. Islam menawarkan tata kelola yang bersih dari monopoli dan kepentingan modal. Islam menempatkan SDA sebagai amanah, bukan komoditas.

Jika Jawa Barat benar-benar ingin menjadi pusat energi bersih, maka kebijakan energi harus keluar dari jeratan kapitalisme dan kembali pada prinsip kepemilikan umum dalam Islam. Hanya dengan itu, energi bersih bukan sekadar slogan, tetapi jalan menuju kesejahteraan hakiki. [My]

Baca juga:

0 Comments: