Generasi Ztroberi: Hidup Realistis dan Keharusan Bertahan
Oleh: Hana Salsabila A. R.
(Kontributor SSCQmedia)
SSCQMedia.Com—Gen Ztroberi adalah gabungan julukan dari istilah Gen Z dan generasi Stroberi. Berdasarkan Wikipedia, Gen Z adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1997 sampai 2012. Adapun generasi Stroberi menggambarkan generasi yang dianggap “gampang mengkerut” seperti buah stroberi, artinya tidak mampu menghadapi tekanan sosial atau kerja keras. Sifat tersebut banyak ditemukan pada generasi Z, sehingga julukan Gen Ztroberi dianggap tepat.
Mengapa muncul istilah Gen Ztroberi?
Menurut para ahli, kondisi ini dipicu oleh konsumsi konten dan informasi tanpa filter yang datang tanpa henti, tekanan sosial yang semakin berat, standar hidup yang tidak realistis, kebutuhan hidup yang kian sulit, serta fenomena FOMO. Semua faktor tersebut membuat mental mudah letih, kecemasan meningkat, dan kemampuan otak menurun. Generasi ini dipaksa selalu waspada menghadapi tekanan zaman.
Sayangnya, dengan segala badai problematikanya, Gen Ztroberi tidak dibekali pendidikan yang cukup. Banyak dari mereka mencari solusi sendiri dengan mengandalkan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI). Mereka mengikuti arus informasi media sosial, menjadi lebih individualis, dan cenderung liberal. Enggan diatur siapa pun, tetapi bergantung pada teknologi. Di sisi lain, mereka dihimpit tekanan hidup berat di bawah Sistem Kapitalisme yang menjadikan segala sesuatu berbasis uang.
Permasalahannya berawal dari pendidikan. Pendidikan seharusnya menjadi bekal utama untuk membimbing kehidupan manusia. Namun, Gen Ztroberi tidak mendapatkan pendidikan yang benar untuk menghadapi kemajuan digital. Mereka justru dididik untuk menjadi penggerak roda Sistem Kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini membuat batas antara kebenaran dan keburukan kabur, menebarkan gaya hidup materialistis, serta menuntut manusia mengejar dunia tanpa batas, hingga uang menjadi tujuan hidup. Realitas ini mengikis kekuatan mental.
Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Dalam Islam, pendidikan tidak hanya berfokus pada kemajuan teknologi dan tujuan dunia, tetapi juga menjaga kesehatan mental, akhlak, dan keimanan generasi. Pendidikan Islam melahirkan individu muslim yang baik. Digitalisasi modern ibarat pisau bermata dua, dapat membawa kebaikan atau kerusakan. Namun, standar penilaiannya harus kembali pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah.
Sebagaimana hadis Rasulullah saw. ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Rasulullah bersabda, “Bagaimana engkau memutuskan perkara apabila diserahkan kepadamu suatu perkara?” Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan Kitabullah.” Rasulullah bertanya, “Jika tidak ada dalam Kitabullah?” Muadz menjawab, “Maka dengan Sunah Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Jika tidak ada dalam Sunah Rasulullah?” Muadz menjawab, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah kemudian menepuk dada Muadz sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyetujui utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang diridai Rasulullah” (HR. Abu Daud).
Selain pendidikan, keberadaan negara juga penting sebagai pelindung dan penjaga. Negara harus menyaring informasi yang masuk sebelum dikonsumsi masyarakat, terutama generasi muda. Konten negatif disaring ketat, hanya menyajikan konten bermanfaat dan sesuai syariat Islam. Semua ini hanya dapat terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang menerapkan aturan Allah secara menyeluruh.
Wallahu a’lam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: