Headlines
Loading...

Oleh. Ni’mah Fadeli
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Sebagian besar waktu manusia modern mungkin dihabiskan dengan gawai. Bukan sesuatu yang terlalu negatif sebenarnya karena melalui gawai juga banyak manfaat yang dapat diperoleh. Misalnya, menambah ilmu dengan melihat tausiyah para ustaz ataupun konten para dokter yang mengedukasi kesehatan. Untuk para produsen atau penjual, memasarkan produk jasa juga sangat mudah dilakukan dengan bantuan gawai.

Namun, saat ini jumlah konten positif mungkin tak sebanding dengan konten yang penting viral. Tak bisa dimungkiri konten 'receh' lebih mendapat banyak views dibanding konten 'daging' yang cenderung berat.

Anak muda yang tak dapat dipisahkan dari gawai pun sangat mudah berubah gaya hidup dan pemikirannya karena cenderung mengikuti apa kata TikTok dan sejenisnya. Tentu tak mengapa jika yang disuguhkan konten adalah suatu perubahan baik, tetapi jika sebaliknya maka sangat disayangkan.

Tidak Ada Filter

Gaya hidup bebas yang diusung liberalisme memberi ruang seluas-luasnya untuk berekspresi. Tanpa ada filter jelas yaitu syariat, mengakibatkan semua hal tampak boleh dilakukan. Gaya hidup hedon, flexing, pergaulan laki-laki perempuan tanpa batas, kekerasan, hingga pemikiran merusak semua boleh dijadikan konten.

Generasi muda tanpa iman kuat pun mudah terombang-ambing dan mengikuti arus yang ada. Ketika merasa tidak sama dengan apa yang disajikan konten maka timbul kecenderungan merasa hidupnya tak lagi bahagia.

Berbagai cara dilakukan agar terlihat sama dengan konten yang bahkan tidak diketahui kebenarannya. Hal ini didukung pula dengan bebasnya pinjol dan judol yang mudah diakses. Iming-iming yang menggiurkan dalam media sosial juga tak jarang membuat banyak generasi muda terjerat dalam trafficking. 

Pornografi yang dapat merusak akal pun tidak pernah berhenti. Secara pemikiran, generasi muda pun dibuai dengan indahnya toleransi dalam moderasi yang menganggap semua agama sama baik dan sama benar.

Lengkap sudah bagaimana konten tanpa filter yang hadir di tengah generasi muda menjadikan mereka tumbuh dan hidup dalam kerapuhan, tanpa pegangan kuat dan arah yang jelas.

Begitulah sekularisme bekerja. Manusia dijauhkan dari agama dan menganggap kebebasan adalah kebahagiaan. Materi adalah segalanya hingga apapun bentuknya akan dilakukan demi membeli sebuah kebahagiaan semu. Akibatnya, bukan kebahagiaan yang dicapai, tetapi hanya jiwa-jiwa rapuh yang mudah putus asa.

Syariat Bukan Pemberat

Islam tidak pernah menolak dunia digital bahkan sangat mendukung perkembangannya. Namun, Islam memiliki syariat yang tidak boleh diabaikan. Ada batasan hingga jangan sampai arus dunia digital membuat manusia makin jauh dari Sang Pencipta.

Maka, konten yang dapat dibuat dan  diakses oleh masyarakat akan melalui filter ketat sehingga tidak melanggar syariat. Dalam Islam negara berfungsi sebagai junnah atau perisai yang akan melindungi rakyat secara menyeluruh. 

Pembatasan yang dilakukan negara bukan bentuk pengekangan, tetapi perlindungan sehingga hanya konten baik dan bermanfaat saja yang bisa diakses rakyat. Hal ini dilakukan semata karena pemimpin menyadari bahwa akan ada pertanggungjawaban kelak di akhirat. Akan menjadi beban berat bagi seorang pemimpin atau khalifah jika maksiat yang dilakukan rakyat terjadi karena ketidakpeduliannya sebagai pemimpin.

Apalagi untuk generasi muda sebagai penerus peradaban di masa mendatang, maka persiapan harus dilakukan secara detail sejak dini. Pembekalan akidah dan tsaqafah Islam senantiasa difasilitasi negara sehingga tidak sampai terjerumus ke hal-hal tak berguna. 

Khatimah

Islam hadir sebagai panduan lengkap di bumi. Syariat-Nya tidak pernah memberatkan dan membatasi, tetapi melindungi manusia itu sendiri. Dalam dunia modern maka Islam tidak hanya akan melindungi rakyat dalam dunia nyata, tetapi juga dalam dunia digital. Kembali kepada syariat Islam secara kafah akan menyelamatkan generasi muda dari segala gempuran arus dunia digital yang tak lagi ramah.

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: