Headlines
Loading...
Banjir Sumatera: Hentikan Izin Konsesi!

Banjir Sumatera: Hentikan Izin Konsesi!

Oleh: Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Bencana banjir bandang dan longsor yang menimpa tiga provinsi di Sumatra bukan sekadar karena cuaca ekstrem, melainkan tragedi ekologis akibat tangan-tangan yang merusak kekayaan alam. Ratusan orang meninggal dunia dan jutaan lainnya mengungsi. Bahkan di Provinsi Aceh, masyarakat menyebut peristiwa ini sebagai tsunami kedua.

Bencana ekologis bukanlah fenomena alam yang terjadi dengan sendirinya, tetapi akibat rusaknya tatanan ekologi karena gangguan masif terhadap alam dan kehidupan makhluk hidup lainnya. Kerusakan besar ini terjadi karena campur tangan manusia secara brutal. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebutkan bahwa sepanjang 2016–2025, sebanyak 1,4 juta hektare hutan di tiga provinsi tersebut telah terdeforestasi terkait aktivitas 631 perusahaan pemegang berbagai izin konsesi (wartaekonomi.co.id, 1/12/2025).

Tidak mengherankan jika bencana kali ini begitu dahsyat dan meluas. Alam tidak lagi mampu menahan derasnya air, sehingga menyeret apa pun yang berada di kawasan rendah—termasuk permukiman penduduk. Sungguh memilukan, alam Indonesia yang dahulu indah kini berubah menjadi sumber petaka akibat tangan-tangan tidak bertanggung jawab.

WALHI mendesak pemerintah mengevaluasi setiap izin konsesi dan ekspansi industri agar bencana serupa tidak terulang di wilayah lain. Di Sumatra Utara, WALHI menuding tujuh perusahaan sebagai pihak yang diduga menjadi penyebab utama bencana ekologis yang melanda kawasan Tapanuli. Dengan izin konsesi, perusahaan bebas membuka dan menebang hutan tanpa kompensasi memadai untuk memulihkan lahan. Pemerintah justru memberi jalan bagi korporasi mengeruk kekayaan alam sementara rakyat menanggung akibatnya.

Kerusakan ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga menghancurkan seluruh ekosistem. Demi meraih keuntungan, keamanan dan ketenteraman dikorbankan. Kezaliman yang bersifat sistemik ini mustahil terjadi tanpa keterlibatan penguasa yang memberikan izin. Inilah wajah asli kapitalisme liberal yang menempatkan kekayaan alam sebagai komoditas untuk diprivatisasi demi keuntungan oligarki. Bahkan tak jarang perusahaan-perusahaan tersebut merupakan milik para petinggi negara sendiri. Rakyat tidak mendapatkan hak yang semestinya atas kekayaan negerinya.

Kerakusan kapitalisme tidak dapat dihentikan hanya dengan evaluasi atau revisi aturan, karena semua aturan dalam sistem ini lahir dari persekongkolan kepentingan para elit, bukan dari amanah melayani rakyat. Oleh sebab itu, segala bentuk izin konsesi dan ekspansi industri yang merusak wajib dihentikan segera.

Islam memandang bahwa kekayaan alam adalah milik umum yang wajib dikelola negara untuk didistribusikan kepada rakyat. Pihak swasta hanya dapat bermuamalah sebagai pihak pendukung, bukan sebagai penguasa sumber daya. Pemimpin dalam Islam sadar bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kebijakan. Karena itu, mereka tidak akan menyerahkan kekayaan alam kepada pemilik modal.

Dalam Islam, aturan diambil dari syariat Allah Swt., pencipta alam semesta, sehingga setiap kebijakan menghadirkan keseimbangan dan kesejahteraan bagi manusia serta seluruh ekosistem kehidupan. Dengan syariat sebagai dasar, industri tidak akan dikembangkan secara membabi buta, dan kesepakatan muamalah tidak akan dikendalikan oleh kepentingan penguasa. Kesadaran hubungan dengan Rabb semesta alam melahirkan kepemimpinan adil dan terpercaya.

Wallahu a‘lam. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: