Oleh: Arumintantri
(Kontributor SSCQMedia.Com)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Untuk anak pertamaku.
Nak, Umi akan sedikit bercerita tentangmu—dari sebelum engkau lahir hingga usiamu yang kini telah mencapai 20 tahun.
Pertama-tama, Umi ingin menyampaikan permohonan maaf. Umi dan Abi belum bisa menjadi orang tua yang sempurna untukmu. Saat itu, Umi dan Abi masih sangat muda ketika memutuskan untuk menikah. Ilmu yang kami miliki masih sangat terbatas, terutama dalam memahami Islam secara kaffah.
Masa-Masa Awal Kehamilan
Nak…
Menikah di usia muda dan tetap melanjutkan kuliah di tengah keterbatasan membuat Umi dan Abi tidak bisa maksimal merawatmu. Namun yakinlah, Nak, Umi dan Abi selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu.
Sekitar delapan bulan setelah menikah, Umi mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Setiap hari meriang dan mual. Umi pikir itu hanya maag. Akhirnya kami memutuskan untuk periksa ke dokter. Dokter bertanya, “Sudah tes kehamilan, Bu?” Umi menjawab, “Belum.”
Kalau mengingat momen itu, Umi malu, Nak. Astaghfirullah. Betapa dangkalnya ilmu Umi, bahkan tanda-tanda kehamilan pun Umi tidak tahu.
Ketika mengetahui bahwa Umi hamil, perasaan Umi campur aduk—bahagia, sedih, dan galau. Bahagia karena Allah mempercayakan amanah ini kepada kami, namun sedih dan galau karena Umi masih kuliah sementara Abi masih berjuang mencari pekerjaan. Tapi Umi yakin, Allah tidak pernah menelantarkan hamba-Nya.
Menjalani kehamilan anak pertama adalah pengalaman pertama bagi Umi dan Abi. Setiap hari kami menantikan perkembanganmu. Ketika usia kandungan mencapai lima bulan dan engkau mulai bergerak, momen-momen itu selalu membuat Umi terkejut. Umi dan Abi sering menebak: “Ini tangannya, bukan? Ini kakinya?”
Masya Allah, betapa lucunya fase itu.
Menjalani Kehamilan Sambil Kuliah
Nak, kehadiranmu tidak menghalangi aktivitas Umi. Setiap hari Umi tetap ke kampus dengan berjalan kaki, menyusuri trotoar bersama mahasiswa lain. Naik turun tangga mengejar dosen, ke laboratorium pemeliharaan ikan, mengerjakan tugas-tugas kuliah. Umi semakin bersemangat karena ingin menyelesaikan semuanya sebelum engkau lahir. Allah memberikan banyak kemudahan ketika dosen mengetahui bahwa Umi sedang hamil.
Engkau adalah buah hati pertama yang membuat Umi dan Abi menjadi lebih kuat. Setiap hari kami mendoakanmu—agar engkau menjadi anak yang taat kepada Allah dan menjadi penyejuk hati. Umi juga sering menyelipkan doa agar kelak engkau dapat menguasai lima bahasa dunia.
Engkau membersamai setiap langkah awal perjuangan Umi dan Abi dalam pernikahan. Saat hati lelah dan ingin mengeluh, engkau selalu menjadi penguat bagi kami.
Mendekati Hari Kelahiran
Menjelang detik-detik kelahiranmu, Umi masih berkutat dengan tugas akhir. Mengejar dosen untuk revisi, naik turun tangga, keluar masuk ruangan. Target Umi: semua selesai sebelum engkau lahir. Sampai dosen pembimbing pun khawatir melihat kondisi Umi.
Detik-Detik Proses Kelahiran
Pagi itu Umi bersiap ke kampus, dan Abi bersiap berangkat mengajar. Umi merasakan sakit perut seperti hendak buang air besar. Berkali-kali ke kamar mandi, tapi tetap memutuskan berangkat karena ingin menemui dosen untuk acc sidang.
Di kampus, rasa sakit itu datang dan pergi. Sampai Zuhur Umi bertahan, lalu pulang. Sesampai di rumah, rasa sakit makin sering muncul. Ketika ke kamar mandi, Umi melihat ada darah keluar. Umi kaget, Nak—apa yang sedang terjadi?
Minimnya ilmu membuat Umi tak mengenali tanda-tanda persalinan. Setelah bercerita kepada Tante (adik Abi) yang tinggal bersama kami, ia langsung terkejut dan berkata, “Ayuk, itu mau melahirkan! Ayo cepat ke bidan!”
Siang itu Umi pergi ke bidan yang jaraknya cukup jauh, naik angkot sekitar 30–45 menit. Umi menelpon Abi dan ia menunggu di klinik. Sesampainya di bidan, Umi diperiksa dan bidan berkata, “Jangan pulang ya, Teh. Ini sudah bukaan dua. Kemungkinan sore ini lahiran.”
Umi dan Abi pun bersiap menunggu kehadiranmu.
Saat menunggu di kamar, Umi mendengar pasien lain merintih kesakitan. Umi bertanya-tanya: Sesakit itukah proses melahirkan? Mengapa Umi belum merasakannya? Bahkan Umi masih bisa berjalan ke pasar bersama Abi membeli jus alpukat, padahal sudah bukaan tujuh! Ibu-ibu yang menunggu di luar pun heran melihat Umi.
Namun ketika memasuki bukaan delapan, barulah Umi merasakan rasa sakit yang luar biasa. Setiap 15 menit datang dan hilang. Hingga akhirnya Umi merasakan sakit yang sangat dahsyat.
Masya Allah… pantas saja Allah memberikan pahala begitu besar pada seorang ibu saat melahirkan. Taruhannya adalah nyawa.
Tak lama kemudian, Umi dibawa masuk ke ruang persalinan. Ada banyak bidan yang mendampingi. Dan akhirnya—Alhamdulillah—engkau lahir.
Masya Allah…
Gadis kecil mungil dengan wajah bulat, rambut tebal, kulit kemerahan, hidung kecil, mata kecil, mulut kecil. Betapa indah ciptaan Allah. Hilang semua rasa sakit ketika Umi melihatmu. Abi tampak sangat bahagia. Engkau diadzankan dan digendongnya. Ketika bidan memperlihatkan nama di kakimu, Abi mengangguk mantap. “Dia anakku,” gumam Abi.
Hari itu menjadi hari paling bersejarah dalam hidup kami. Hari ketika Umi dan Abi resmi menjadi orang tua, dan hari ketika Allah mengizinkan engkau hadir ke dunia.
Abi memberimu nama Fadilatul Aisyah, berharap engkau memiliki keutamaan-keutamaan seperti ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Nak… tetaplah menjadi anak yang selalu takut kepada Allah, di mana pun engkau berada.
Terukir indah kenangan itu pada 24 Agustus 2021, di Bidan Sri Dodie, Gunung Batu, Bogor Barat.
Surat ini Umi tuliskan untukmu, anakku, buah hatiku, harapan terbesarku—anak pertamaku, Fadilatul Aisyah.
Selalu ada doa untukmu di setiap sujud Umi.
Baca juga:
0 Comments: