Oleh: Ni’mah Fadeli
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Sudan, negeri yang akhir-akhir ini menjadi sorotan di berbagai media massa. Sayangnya, bukan kabar baik yang beredar, melainkan berita tentang genosida luar biasa di dalam negeri.
Sudan telah mengalami perang saudara terpanjang di Afrika, yakni selama lebih dari 22 tahun. Puluhan ribu orang tewas, sementara jutaan rakyat terpaksa mengungsi dalam kondisi di ambang kelaparan.
Sudan merupakan negara terbesar di Afrika sebelum terjadi pemisahan diri pada tahun 2011. UNESCO mengakui Sudan sebagai salah satu situs Warisan Dunia. Hal ini karena Sudan menjadi pusat perdagangan emas, gading, kayu eboni, hingga kulit binatang.
Bahkan kebun binatang pribadi di berbagai negara Asia dan Mediterania mengimpor monyet, gajah, serta jerapah dari Sudan. Untuk produksi emas, Sudan menghasilkan lebih dari 80 ton per tahun (Republika.co.id, 1 November 2025).
Bukan Murni Perang Saudara
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Sudan memiliki sejarah panjang. Dahulu, wilayah ini berada di bawah kepemimpinan Islam yang menguasai sepertiga dunia, sebelum akhirnya direbut oleh Inggris pada tahun 1898.
Kekayaan alam yang melimpah selalu menjadi alasan Barat untuk menjajah, sebagaimana di wilayah lain. Sifat rakus tanpa dasar agama menjadikan segala cara dianggap sah untuk dilakukan. Begitulah wajah kapitalisme yang digunakan Barat untuk menguasai dunia.
Politik devide et impera pun diterapkan. Antaretnis dan antaragama diadu domba. Para misionaris disebar, hingga sekitar 60 persen penduduk Sudan bagian selatan saat itu memeluk agama Kristen.
Pengaruh Inggris mulai melemah setelah Sudan mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1956. Namun, hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan karena pengaruh Amerika Serikat. Melalui PBB, Amerika mendesak negara-negara Eropa memerdekakan jajahannya, lalu menggeser pengaruh Inggris dan menancapkan kuku kekuasaan di Sudan.
Untuk membersihkan pengaruh Inggris, Amerika menyokong Rapid Support Forces (RSF). Dunia melihatnya sebagai perang saudara, padahal kenyataannya bukan demikian. Barat akan selalu berupaya menguasai dunia dengan berbagai cara licik. Sementara itu, hak asasi manusia yang mereka gaungkan, nyatanya tidak pernah benar-benar ditegakkan.
Persatuan dalam Islam
Jika sifat Barat adalah memecah belah untuk menguasai, maka Islam justru menegaskan pentingnya persatuan. Sesama Muslim adalah saudara, meski berbeda warna kulit, ras, dan etnis, serta terpisah ribuan kilometer.
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut terjaga dan merasakan panas (turut merasakan sakitnya).”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Krisis Sudan bukan sekadar derita dalam negeri. Setiap Muslim seharusnya marah terhadap penjajahan yang menimpa saudaranya. Sudah saatnya umat Islam berpikir lebih luas, tidak hanya berkutat pada perbaikan diri dan keluarga semata.
Umat Islam harus bersuara dan memperjuangkan persatuan Islam agar Barat tidak bisa lagi mempermainkan sesukanya. Penjajahan, genosida, dan berbagai bentuk kezaliman lainnya akan terus terjadi selama kaum Muslimin belum bersatu melawan.
Setiap Muslim harus bangga dengan agamanya. Sudah sepatutnya kita bersemangat mempelajari syariat Islam secara menyeluruh agar tidak seperti katak dalam tempurung, mudah terombang-ambing karena tidak memiliki pegangan akidah yang kuat.
Penutup
Kaum Muslimin harus menyadari bahwa Barat sangat khawatir terhadap tegaknya kembali sistem Islam. Karena itulah, segala upaya dilakukan agar kejayaan Islam tidak terulang.
Mari menjadi Muslim sejati dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan memperjuangkan tegaknya syariat Islam, hingga tidak ada lagi saudara kita yang terlupakan seperti di Sudan.
Wallahualam bissawab.
[Hz]
Baca juga:
0 Comments: