Sudan Membara: Kepentingan Barat di Balik Eksploitasi SDA
Oleh: Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Krisis di Sudan kembali membara dengan intensitas yang semakin mengerikan. Ribuan orang dipaksa mengungsi. Pembunuhan massal terjadi, bahkan pemerkosaan terhadap perempuan dan anak-anak dilaporkan berlangsung secara sistematis. Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dilaporkan menewaskan sedikitnya 1.500 warga dalam waktu tiga hari di kota El-Fasher, wilayah Darfur. Laporan ini dikutip dari Republika.id (31/10/2025).
Di tengah perang saudara yang semakin brutal, krisis kemanusiaan kian dalam karena masyarakat sipil menjadi korban tanpa perlindungan yang layak. Peristiwa tragis ini terjadi di tanah umat Muslim, sebagaimana halnya penderitaan yang menimpa Palestina yang sampai hari ini belum juga mendapatkan solusi hakiki.
Sudan adalah negara yang sangat strategis. Negara ini merupakan salah satu yang terbesar di Afrika timur laut. Sudan berbatasan langsung dengan Mesir, Ethiopia, dan Libya. Dialiri oleh anak Sungai Nil, bagian tengah dan timur Sudan memiliki tanah yang sangat subur. Letak geografisnya yang berbatasan dengan Laut Merah menjadikan wilayah ini sebagai jalur perdagangan penting antara Timur Tengah dan Asia.
Kekayaan alam Sudan ternyata tidak sedikit. Negara ini memiliki sumber daya minyak dan gas yang melimpah. Begitu pula emas. Sudan merupakan salah satu produsen emas terbesar di benua Afrika. Sayangnya, banyak tambang berdiri secara ilegal dan dikuasai oleh kelompok bersenjata, sehingga hasil kekayaan negeri jarang dirasakan oleh rakyatnya sendiri.
Krisis Sudan sejatinya bukan sekadar konflik etnis yang muncul secara spontan. Konflik ini merupakan hasil pergulatan kepentingan global dan persaingan geopolitik yang melibatkan negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, serta sekutu-sekutu mereka seperti Uni Emirat Arab dan rezim Zionis. Sumber konflik tidak hanya bersifat lokal, melainkan juga berkaitan dengan upaya penguasaan atas kekayaan alam Sudan dan penempatan pengaruh politik di Afrika dan Timur Tengah.
Sudan yang kaya sumber daya seharusnya bisa menjadi subjek yang menentukan nasibnya sendiri dalam kerangka keadilan dan kemakmuran rakyat. Fakta bahwa Sudan memiliki lebih banyak piramida daripada Mesir, dilintasi Sungai Nil yang panjang, dan merupakan produsen emas besar seharusnya menjadi modal untuk kemajuan. Namun kenyataannya, yang mendominasi adalah konflik dan eksploitasi.
Dalam konteks ini, umat Islam di seluruh dunia perlu meningkatkan kualitas berpikir agar mampu membaca problem global melalui kacamata ideologis, yakni sebagai bagian dari benturan peradaban antara sistem Islam dan ideologi non-Islam yang merajai dunia. Pernyataan ini bukan ajakan permusuhan, melainkan upaya menyadarkan umat bahwa banyak krisis hari ini merupakan manifestasi konflik struktural antara kaum tertindas dan penguasa global yang mengeksploitasi.
Akar permasalahan atas pembantaian dan perebutan kekayaan alam hanya dapat diselesaikan dengan kepemimpinan yang menyelenggarakan negara berdasarkan peraturan yang berasal dari Sang Pencipta. Keyakinan tersebut berpendapat bahwa hanya Islam yang memiliki aturan kepemimpinan negara yang dapat menyelesaikan berbagai krisis politik, ekonomi, dan sosial sehingga rahmatan lil-‘alamin dapat tercipta secara nyata di dunia.
Sistem pemerintahan Islam dianggap sebagai satu-satunya sistem yang tidak semata-mata berubah oleh kepentingan manusia di dalamnya, karena setiap perilaku akan berhadapan langsung dengan pertanggungjawaban di hadapan Rabb. Oleh karena itu, persatuan negara-negara Muslim di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, seperti khilafah, dipandang sebagai keniscayaan untuk melawan hegemoni negara-negara Barat yang terus membuat umat Islam terjajah, terpecah, dan menderita.
Dengan persatuan dan sistem yang benar, umat Islam diharapkan dapat menghentikan siklus eksploitasi sumber daya oleh pihak luar dan memastikan kekayaan negeri-negeri Muslim benar-benar membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Krisis di Sudan mencerminkan bagaimana kekuatan global mengeksploitasi kekayaan alam negeri-negeri Muslim, sementara rakyat menanggung penderitaan.
Umat Islam harus sadar bahwa berada dalam arena global yang dikuasai kepentingan asing bukan berarti harus tunduk. Sebaliknya, umat harus bangkit dengan kesadaran ideologis dan sistem politik yang adil. Hanya dengan mengembalikan kepemimpinan umat Islam kepada satu kepemimpinan yang sah, diyakini kebiadaban dan kezhaliman atas umat di tanah yang kaya akan sumber daya dapat diminimalkan atau dihapuskan.
Dengan keyakinan seperti itu, sudah sepantasnya kita semua memperjuangkannya sebelum kembali jatuh korban seperti yang terjadi di Sudan maupun di Palestina.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: