Headlines
Loading...
Sudan Membara, di Mana Kaum Muslimin?

Sudan Membara, di Mana Kaum Muslimin?


Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com – Beberapa tahun berlalu, krisis Sudan kembali membara akibat perang saudara yang berlangsung selama 22 tahun. Dalam empat hari terakhir, lebih dari 62.000 warga mengungsi dari El-Fasher. Kota tersebut direbut oleh Rapid Support Forces (RSF) yang dituduh melakukan pembunuhan massal, penahanan sewenang-wenang, pemerkosaan, serta serangan terhadap fasilitas kesehatan di wilayah yang dikepung. Krisis ini menyebabkan kekurangan pangan, air bersih, dan tempat berteduh yang layak. Sebanyak 1.900 orang tiba dalam keadaan sulit. Konflik ini bukan sekadar pertikaian militer, tetapi telah menjadi bencana kemanusiaan yang membutuhkan perhatian internasional. (2 November 2025, minanews.net)

Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Populasinya tumbuh cepat dan menjadi rumah bagi banyak suku. Negara ini memiliki piramida lebih banyak daripada Mesir serta aliran Sungai Nil yang lebih panjang. Sudan juga merupakan salah satu produsen emas terbesar di kawasan Arab, namun masih memiliki infrastruktur jalan yang minim. Negara ini termasuk dalam proyek sumber hijau dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Laut Merah yang masih alami menjadi daya tarik bagi para penyelam. Namun, di tengah kekayaan tersebut, Sudan mengalami krisis kemanusiaan sangat panjang dengan 30 juta penduduk membutuhkan bantuan. (Republika.co.id)

Diperkirakan 1.500 hingga 2.000 orang tewas dalam tiga hari terakhir di El-Fasher. Selama satu setengah tahun terakhir, sebanyak 14.000 orang meninggal akibat bom, kelaparan, dan eksekusi di luar hukum oleh RSF. Konflik yang dimulai sejak 2023 telah menyebabkan 12 hingga 14 juta orang mengungsi. Selama pengepungan selama 17 bulan, terjadi banyak serangan terhadap warga sepanjang rute pelarian, penggerebekan dari rumah ke rumah, serta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak.

RSF juga menyerang warga sipil di masjid dan fasilitas Bulan Sabit Merah. Sebanyak 500 orang mencari perlindungan di sebuah rumah sakit, dan 460 orang tewas di Rumah Sakit Bersalin Saudi. Perang dua tahun ini menewaskan sekitar 36.000 hingga 40.000 jiwa. Di Sudan Selatan yang kaya minyak, perang saudara kembali pecah setelah kemerdekaan. Selama pengepungan 500 hari, sebanyak 650.000 pengungsi melarikan diri ke Tawila, kota terdekat dari El-Fasher, dengan perjalanan sejauh 60 kilometer atau 37 mil.

Sudan menjadi negeri yang terjajah dan kekayaannya dirampas oleh segelintir orang. Ironisnya, sebagian pelakunya adalah sesama muslim. Disebutkan bahwa Uni Emirat Arab menjadi negara yang merekrut milisi tersebut untuk memusnahkan penduduk Sudan. Krisis ini menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim masih berada dalam cengkeraman kekuatan asing. Kekayaan alam yang melimpah justru menjadi malapetaka. Di negeri yang berlimpah emas, rakyat tetap hidup dalam kelaparan dan kemiskinan.

Sebagai muslim, kita harus menyadari bahwa konflik di Sudan bukan sekadar perang saudara atau perang etnis. Lebih dari itu, terdapat keterlibatan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, serta negara-negara boneka seperti Zionis dan UEA, yang memiliki kepentingan merebut kekayaan alam Sudan untuk proyek strategis di kawasan Timur Tengah.

Lembaga-lembaga internasional dengan berbagai aturannya dibangun dalam bingkai kepentingan untuk melanggengkan hegemoni negara-negara adidaya atas negeri-negeri muslim. Hal ini menjadikan Sudan yang kaya sumber daya alam hanya sebagai objek perebutan kepentingan global.

Sudan berada dalam kondisi serupa dengan Gaza dan negeri-negeri muslim lainnya yang membutuhkan pertolongan umat Islam. Pertolongan tersebut tidak mungkin hadir tanpa adanya negara yang mampu menggerakkan kekuatan militer. Mereka adalah para pejuang Islam yang bersatu dalam satu kepemimpinan, yaitu khilafah.

Khilafah menawarkan solusi bagi umat untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dunia, baik krisis ekonomi, politik, maupun sosial. Karena itu umat harus menyadari bahwa yang mampu menyelamatkan kaum muslimin di mana pun berada adalah sistem Islam. Persatuan kaum muslimin dari seluruh negeri Islam akan membuat negara-negara Barat gentar.

Sudah sangat jelas bahwa sebagai muslim kita harus memiliki kesadaran politik yang benar. Kesadaran politik bukan sekadar mengikuti peristiwa dan situasi politik internasional, melainkan melihat dunia dengan sudut pandang khusus. Bagi kaum muslimin, sudut pandang itu adalah akidah Islam, yaitu sudut pandang kalimat syahadat. Rasulullah saw. bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata ‘Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah’. Jika mereka mengucapkannya, berarti mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan yang benar.”
(Konsepsi Politik, hlm. 227)

Wallahu a’lam. []

Baca juga:

0 Comments: