Headlines
Loading...
Sudan dalam Bara Percaturan Kepentingan Barat

Sudan dalam Bara Percaturan Kepentingan Barat

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com – Sudan kembali membara. Ribuan orang terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah dan tanah kelahiran yang kini berubah menjadi lautan api dan darah. Di El-Fasher, lebih dari 60 ribu warga mengungsi hanya dalam empat hari. Pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kekejaman terhadap warga sipil terus terjadi tanpa henti (minanews.net, 2 November 2025).

Aktivis muslimah Tsuroyya Amal Yasna menjelaskan, luka Sudan bermula dari sejarah panjang kolonialisme Inggris. “Inggris menjajah Sudan pada 1899. Persaingan sengit antar kekaisaran Eropa dalam merebut Afrika menjadi akar penjajahan itu,” ujarnya kepada Kantor Berita Ideologis Internasional (muslimahnews.net, 29 Agustus 2025).

Perebutan Afrika, kata Tsuroyya, merupakan hasil Revolusi Industri Kedua. Inggris berambisi menguasai jalur perdagangan Mesir dan Sungai Nil yang penting untuk akses ke India dan Afrika Selatan. Dalam Pertempuran Omdurman tahun 1898, pasukan Inggris–Mesir merebut Khartoum dan menancapkan kekuasaannya. Sejak itu, Inggris menguasai Sudan melalui sistem kondominium, di mana secara formal Mesir ikut memerintah, tetapi kendali penuh tetap di tangan Inggris.

Inggris kemudian membagi Sudan menjadi dua wilayah berbeda, yaitu Utara dan Selatan, melalui kebijakan Southern Policy. Di Utara, komunitas “Arab” diberdayakan, sementara di Selatan para misionaris Kristen aktif menyebarkan agama. Pola adu domba ini memicu perpecahan etnis dan agama hingga Sudan Selatan akhirnya memisahkan diri pada 2011.

Menurut juru bicara kelompok dakwah ideologis internasional wilayah Sudan, Amerika Serikat (AS) menjadi aktor utama di balik konflik ini. “AS menggerakkan agen-agen dan alatnya untuk mendukung pihak tertentu serta menjaga agar bara perang tetap menyala,” ungkapnya (muslimahnews.net, 3 November 2025).

AS menutup mata terhadap kejahatan perang yang dilakukan Rapid Support Forces (RSF). Genosida, pembunuhan berdasarkan ras, dan kekejaman lainnya dibiarkan terjadi. Semua ini bagian dari persaingan global untuk menyingkirkan pengaruh Inggris dan memperluas kendali Amerika atas sumber daya alam Sudan.

Amerika juga menekan Sudan agar menormalisasi hubungan dengan entitas Zionis sebagai bagian dari “Proyek Timur Tengah Baru.” Tujuannya jelas, menyerahkan wilayah strategis kepada sekutu-sekutunya untuk menguasai sumber daya dan melemahkan kekuatan Islam di kawasan.

Kolonialisme Baru: Politik, Budaya, dan Ekonomi

Sejak kemerdekaannya pada 1956, Sudan tak pernah benar-benar lepas dari jerat penjajahan. Inggris memang pergi, tetapi bayang-bayang kolonialisme tetap hidup melalui politik dan budaya Barat. Nilai-nilai kapitalisme yang rakus disebarkan, menggantikan identitas Islam yang pernah menjadikan Sudan makmur.

Amerika memainkan peran besar dalam serangkaian kudeta militer di Sudan, termasuk mendukung Jaffar Nimeiri (1969–1985) yang menjadi sekutu setia Washington. Chevron, perusahaan minyak Amerika, menemukan cadangan besar di Sungai Nil Hulu. Sejak itu, Sudan menjadi ajang eksploitasi minyak dan emas oleh korporasi asing.

Puncaknya, AS turut mengawasi pemisahan Sudan Selatan pada 2011 di bawah pemerintahan Obama. Sementara Inggris tetap berusaha merebut kembali pengaruhnya melalui agen-agen lokal. Dua kekuatan ini terus bersaing, dan Sudan menjadi medan tempur kepentingan mereka.

Krisis Sudan bukan sekadar konflik etnis. Ini adalah cermin perang ideologi global antara kapitalisme Barat dan Islam. Negara-negara adidaya menjadikan Sudan sebagai pion dalam permainan geopolitik untuk merampas sumber daya alam yang melimpah.

Lembaga-lembaga internasional yang diklaim netral sejatinya dibangun dalam bingkai kepentingan Barat. Mereka menjustifikasi intervensi, sanksi, dan perjanjian yang menguntungkan korporasi global. Sementara rakyat Sudan tetap menjadi korban, hidup dalam kemiskinan di atas tanah yang kaya emas dan minyak.

Jalan Keselamatan: Islam dan Khilafah

Dalam pandangan Islam, solusi sejati bagi Sudan dan negeri-negeri muslim lain bukanlah sekadar gencatan senjata atau bantuan kemanusiaan sesaat. Solusi itu harus sistemik, ideologis, dan menyeluruh.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah perisai. Di belakangnya orang-orang berperang dan dengannya mereka berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sejarah mencatat, ketika Islam tegak di bawah kepemimpinan Khilafah, negeri-negeri muslim hidup damai dan makmur. Tidak ada kekuatan asing yang mampu menjarah atau menundukkan mereka. Pemimpin dalam sistem Islam memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan alat untuk berdagang kekuasaan.

Al-Qur’an menyeru, “Wahai orang-orang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (QS. Al-Anfal: 24)

Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang sempurna. Ia mengatur pemerintahan, ekonomi, sosial, hingga hubungan antarnegara. Hanya dengan Khilafah berdasarkan metode kenabian, umat Islam dapat memutus rantai penjajahan dan mengembalikan kemuliaan yang hilang.

Penutup

Sudan hari ini hanyalah satu dari sekian banyak negeri muslim yang menderita di bawah sistem buatan manusia. Namun, di balik bara itu masih ada harapan. Kesadaran ideologis umat sedang tumbuh. Mereka mulai melihat akar persoalan dan menolak menjadi pion dalam permainan kekuasaan global.

Sudan akan pulih, bukan dengan negosiasi yang dikendalikan Barat, tetapi dengan kembalinya umat kepada tali penyelamat Islam. Hanya Islam yang mampu menyatukan, melindungi, dan menegakkan keadilan sejati di bumi Allah Swt.

Fajar kemenangan akan tiba ketika umat beriman benar-benar memenuhi seruan Rabbnya. Sebab janji Allah pasti benar, “Dan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). [An]


Baca juga:

0 Comments: