Headlines
Loading...
Sudan, Cermin Nurani Umat yang Terluka

Sudan, Cermin Nurani Umat yang Terluka

Oleh: Arini Hidayati
(Mahasiswi, Aktivis Dakwah)

SSCQMedia.Com—Sudan kembali dilanda krisis kemanusiaan. Ribuan orang mengungsi, pembunuhan massal dan pemerkosaan terus terjadi dengan kejam. Negeri yang seharusnya makmur kini berubah menjadi tempat penderitaan dan kehilangan. Padahal, Sudan bukan negara biasa—ia memiliki Sungai Nil yang panjang, piramida lebih banyak dari Mesir, dan kekayaan emas melimpah yang menjadikannya salah satu produsen utama di dunia Arab (Republika, 31/10/2025).

Namun, di balik segala kekayaan itu, Sudan justru didera kemiskinan dan perang yang tak kunjung padam. Bukan karena rakyatnya lemah, tetapi karena sistem dunia hari ini tak pernah berpihak kepada mereka. Konflik di Sudan bukan sekadar pertikaian etnis atau politik lokal, melainkan bagian dari perebutan pengaruh dan sumber daya antara kekuatan global. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, bersama sekutu regionalnya, memperpanjang konflik demi mempertahankan kendali atas wilayah strategis yang kaya potensi.

Tragedi ini menunjukkan betapa dunia modern kehilangan nuraninya. Di saat ribuan manusia kehilangan rumah dan keluarga, dunia seolah hanya bisa menatap dari kejauhan—sibuk dengan politik kepentingan dan narasi kemanusiaan yang bersyarat. Ironisnya, lembaga internasional yang digadang-gadang sebagai penjaga perdamaian justru sering kali menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan besar yang menciptakan ketidakadilan baru.

Namun, di balik berita-berita mengerikan itu, ada sesuatu yang lebih dalam untuk direnungkan: di mana posisi kita sebagai umat Islam?

Apakah kita masih punya kepedulian yang hidup, ataukah hati kita telah beku oleh jarak dan kebiasaan melihat penderitaan sebagai “urusan orang lain”?

Sudan seakan menjadi cermin yang memantulkan kelemahan umat ini—bukan karena kurangnya jumlah, tetapi karena hilangnya arah dan persatuan. Kita memiliki Al-Qur’an sebagai pedoman, sejarah peradaban sebagai teladan, tetapi kita kehilangan ikatan yang menyatukan seluruh kekuatan itu.

Ketika satu negeri muslim diserang, negeri lainnya hanya bisa mendoakan dari kejauhan. Padahal Rasulullah ï·º bersabda:

“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan panas dan demam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan bahwa penderitaan Sudan seharusnya menggugah seluruh umat. Karena yang terluka bukan hanya mereka, tetapi kita semua—sebagai satu tubuh yang telah lama kehilangan kepekaan.

Akar persoalan ini bukan sekadar politik, tetapi sistemik dan ideologis. Dunia hari ini berjalan di bawah sistem kapitalisme global yang menuhankan kekuasaan dan materi, bukan kasih sayang dan keadilan. Dalam sistem seperti itu, darah manusia bisa menjadi murah, dan kebenaran bisa dibungkam demi keuntungan.

Islam datang membawa sistem yang menegakkan martabat manusia di atas dasar ketakwaan, bukan kepentingan ekonomi. Dalam sistem Islam kaffah, kepemimpinan bukan alat dominasi, melainkan amanah untuk menjaga kehidupan. Sumber daya alam dikelola untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk korporasi asing. Dan hubungan antarnegara dibangun atas dasar keadilan dan tanggung jawab, bukan hegemoni.

Sudan memang jauh dari kita secara geografis, tetapi dekat secara akidah. Ketika umat Islam kembali bersatu dalam kesadaran bahwa setiap penderitaan saudara adalah ujian bagi kita semua, maka dunia akan melihat kembali cahaya peradaban Islam—yang menebar rahmat, bukan kehancuran.

Perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil di hati manusia: dari rasa iba yang jujur, dari keinginan untuk tidak hanya menonton berita, tetapi menyalakan doa, ilmu, dan tindakan nyata untuk membangun tatanan yang adil.
Sudan adalah panggilan nurani—panggilan untuk kembali pada sistem yang diturunkan Allah, yang memuliakan manusia dan menegakkan kehidupan.

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya [21]: 107)

Wallahualam. []


Baca juga:

0 Comments: