Headlines
Loading...

Oleh: Maya Rohmah

(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Setiap orang memiliki ayat Al-Qur’an yang begitu membekas di hati.
Bagi saya, QS. An-Nahl ayat 125 adalah salah satu yang paling berkesan.

اُدْعُ اِÙ„ٰÙ‰ سَبِÙŠْÙ„ِ رَبِّÙƒَ بِالْØ­ِÙƒْÙ…َØ©ِ ÙˆَالْÙ…َÙˆْعِظَØ©ِ الْØ­َسَÙ†َØ©ِ ۙ ÙˆَجَادِÙ„ْÙ‡ُÙ…ْ بِالَّتِÙŠْ Ù‡ِÙŠَ اَØ­ْسَÙ†ُ ۗ اِÙ†َّ رَبَّÙƒَ Ù‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِÙ…َÙ†ْ ضَÙ„َّ عَÙ†ْ سَبِÙŠْÙ„ِÙ‡ٖ ۙ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِالْÙ…ُÙ‡ْتَدِÙŠْÙ†َ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini begitu indah dan dalam maknanya. Ia bukan sekadar perintah untuk berdakwah, tetapi juga pedoman tentang bagaimana dakwah itu seharusnya dilakukan. Di sinilah saya menemukan makna sejati dari perjalanan dakwah yang penuh kelembutan, kesabaran, dan keikhlasan.

Saya memilih ayat ini karena ia mengajarkan keseimbangan antara semangat dan kebijaksanaan. Dalam dakwah, kita sering terjebak antara dua sisi: ingin menyampaikan kebenaran dengan tegas, tetapi kadang lupa menjaga kelembutan hati. QS. An-Nahl ayat 125 mengingatkan bahwa dakwah bukan sekadar menyampaikan, melainkan menuntun dengan kasih.

Kata hikmah dalam ayat ini sangat memikat. Ia bukan hanya berarti bijak, tetapi juga tepat waktu, tepat cara, dan tepat sasaran. Sering kali hikmah muncul ketika hati bersih dan niat lurus. Tidak semua kebenaran harus diucapkan dengan keras; sebagian cukup dengan contoh nyata dan tutur lembut, sebagaimana cara Rasulullah saw. mendidik umatnya.

Pendapat Ulama

Ustaz Felix Siauw menekankan bahwa cara berdakwah harus lembut dan tidak saling menyalahkan agar komunikasi dakwah dapat diterima dengan baik. Dalam beberapa kajian dan penelitian tentang gaya dakwah digitalnya, ayat ini dijadikan pedoman bahwa seorang dai harus menyesuaikan pendekatan, konteks, dan media agar dakwah lebih efektif.

Ayat ini memuat tiga metode utama dakwah:

  • Bil hikmah — dengan kebijaksanaan;

  • Bil mau‘izhah al-hasanah — dengan nasihat yang baik;

  • Wa jâdilhum billatî hiya ahsan — dengan dialog yang paling baik.

Para mufasir menjelaskan bahwa dakwah bukan sekadar menegakkan kebenaran dengan keras, tetapi mengajak dengan akhlak mulia dan cara yang tepat sesuai kondisi mad‘u (orang yang diajak). Termasuk di dalamnya pengingat bahwa tugas seorang dai hanyalah menyampaikan, sementara pemberi hidayah hanyalah Allah Swt.

Pelajaran yang Saya Dapatkan

Dari ayat ini, saya belajar bahwa dakwah adalah ibadah yang halus. Ia bukan tentang seberapa lantang kita berbicara, tetapi seberapa tulus kita menyentuh hati. Dakwah bukan juga tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling sabar menuntun saudaranya menuju kebaikan.

Allah tidak hanya memerintahkan “serulah”, tetapi melengkapinya dengan bil hikmah dan mau‘izhah hasanah. Artinya, cara adalah bagian dari ibadah dakwah itu sendiri. Dakwah harus penuh kasih, bukan dengan celaan atau penghakiman. Kita tidak sedang berdiri di atas orang lain, melainkan berjalan bersama menuju ridha Allah.

Saya juga memahami pesan kerendahan hati dalam kalimat penutup ayat ini:
“Sesungguhnya Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk.”
Tugas kita hanyalah menyampaikan, bukan menentukan siapa yang mendapat hidayah. Kesadaran itu membuat dakwah terasa lebih ringan dan penuh cinta.

Kisah yang Tak Terlupakan

Saya teringat sebuah pengalaman pribadi ketika mencoba berdakwah kepada teman-teman di kampus. Waktu itu saya sangat bersemangat mengajak mereka mengikuti kajian rutin. Namun karena cara saya cenderung memaksa dan kurang lembut, sebagian malah menjauh. Saya merasa gagal dan sempat putus asa.

Saat itu, saya belum memahami Al-Qur’an secara mendalam. Beberapa tahun kemudian, ketika membaca kembali QS. An-Nahl ayat 125, ayat itu seperti menegur sekaligus menenangkan. Saya menyadari bahwa saya salah dalam cara berdakwah. Sejak itu saya berusaha memperbaiki pendekatan—tidak lagi mengajak dengan paksaan, tetapi menjadi contoh kecil, mendengarkan, dan membantu tanpa pamrih.

Alhamdulillah, lambat laun justru mereka sendiri yang bertanya kapan ada kajian berikutnya.

Dari pengalaman itu, saya memahami bahwa hikmah terkadang hadir bukan dari banyak bicara, tetapi dari perilaku yang menenteramkan hati. Dakwah tidak selalu di mimbar; ia bisa tumbuh di dapur, tempat kerja, media sosial, atau setiap interaksi yang menumbuhkan kebaikan.

Makna Dakwah bagi Pengemban Dakwah

Dakwah adalah amanah besar. Ia bukan pekerjaan sambilan, melainkan misi hidup seorang mukmin. Menjadi pengemban dakwah berarti siap menghadapi tantangan, penolakan, bahkan cibiran. Namun sebagaimana Allah perintahkan, dakwah harus tetap dilakukan dengan cara yang baik, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi menundukkan hati dengan akhlak mulia.

Saya sering merenung bahwa pengemban dakwah sejatinya adalah penolong agama Allah. Menjadi penolong berarti siap membantu tegaknya kalimat Allah di muka bumi dengan berbagai cara: menulis, mengajar, membuat konten kebaikan, mendukung ulama, atau sekadar berdoa agar dakwah terus berjalan.

Dalam dakwah, tidak ada posisi yang lebih mulia satu sama lain. Yang membedakan hanyalah ketulusan niat. Ada yang di depan memimpin, ada yang di belakang menopang, ada yang diam namun selalu berdoa. Semua bagian itu penting, seperti tubuh yang saling membutuhkan.

Dakwah sebagai Poros Hidup

Sejak memahami ayat ini, saya menata ulang arah hidup. Dakwah bukan lagi kegiatan tambahan, tetapi poros kehidupan. Apa pun profesi saya, saya ingin tetap menjadi bagian dari orang-orang yang menyeru ke jalan Allah dengan cara yang baik.

Saya percaya, selama dakwah menjadi bagian dari hidup, Allah akan menjaga langkah kita. Tidak perlu menjadi ulama besar untuk berdakwah. Cukup menjadi muslim yang konsisten menyampaikan kebaikan sesuai kemampuan.

QS. An-Nahl ayat 125 terus menjadi pengingat bahwa dakwah sejati bukan tentang popularitas atau pengakuan, tetapi tentang mengajak manusia kepada Allah dengan cara yang membuat mereka ingin mendekat, bukan menjauh.

Penutup

Ayat ini mengajarkan saya arti cinta dalam dakwah. Bahwa setiap kata, tindakan, dan niat harus lahir dari kasih kepada sesama, bukan dari amarah atau kesombongan. Dakwah yang penuh cinta akan menumbuhkan iman—bukan hanya di hati orang lain, tetapi juga di hati kita sendiri.

Kini, setiap kali membaca QS. An-Nahl ayat 125, saya selalu berdoa agar Allah menjadikan saya bagian dari mereka yang berdakwah dengan hikmah, sabar dalam menuntun, dan lembut dalam menyampaikan.
Sungguh, tidak ada kebahagiaan yang lebih indah selain menjadi bagian dari jalan dakwah yang diridai Allah Swt. []

Baca juga:

0 Comments: