Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Seorang santri di Dayah (Pesantren) Babul Maghfirah, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, membakar asrama karena sakit hati menjadi korban bullying. Niat awalnya hanya membakar barang-barang milik teman yang membully-nya. Namun, bangunan asrama yang didominasi material tripleks dan kayu habis dilalap api. Kerugian diperkirakan mencapai Rp2 miliar. Pelaku terancam hukuman penjara 15 tahun, meski masih di bawah umur.
(6/11/2025, kumparan.com)
Kasus lain datang dari SMA Negeri 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Seorang siswa kelas 12 diduga melakukan aksi peledakan di sekolah karena kerap menjadi korban bullying. Sebanyak 10 orang mengalami luka-luka, termasuk luka bakar, dan dilarikan ke RS Islam Cempaka Putih. Ledakan terjadi saat salat Jumat. Pelaku bahkan diduga berniat bunuh diri. Ia dikenal sebagai pribadi yang penyendiri.
(7/11/2025, kumparan.com)
Kedua pelaku adalah korban tekanan sosial berat akibat ejekan, pelecehan, dan pengucilan di lingkungan sekolah. Kondisi ini bisa terjadi karena korban tidak berani melapor akibat ancaman atau sudah melapor tetapi tidak mendapatkan solusi yang tegas sehingga pelaku tidak jera. Akhirnya, korban mengambil tindakan ekstrem demi membela diri.
Bullying kini seolah menjadi hal biasa. Fenomena ini menggejala di berbagai daerah dan menjadi masalah sistemik dalam dunia pendidikan. Salah satu pemicunya adalah media sosial, bahkan media sosial sering menjadi bukti kuat karena aksi pelaku terekam jelas.
Para pelaku merekam tindakan bullying untuk menunjukkan “kehebatan” kepada teman-temannya atau menjadikannya bahan candaan di kelas. Ini menunjukkan bahwa generasi saat ini sedang mengalami krisis adab dan pendidikan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Media sosial juga sering menjadi rujukan bagi korban bullying untuk meniru tindakan berbahaya sebagai pelampiasan kemarahan atau dendam. Saat ini, film-film bertema bullying dari berbagai negara sangat mudah diakses. Semua ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan sekuler–kapitalistik terlalu berfokus pada aspek materi dan gagal membentuk karakter manusia yang berkepribadian Islam.
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti ajaran (dinul Islam) yang kubawa.”
(Hadis Arba’in An-Nawawiyyah)
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku menjadi akalnya yang ia berpikir dengannya.”
(Hadis Qudsi)
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam. Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yakni memegang teguh identitas kemuslimannya yang tampak dalam cara berpikir dan bersikap yang selalu dilandaskan pada ajaran Islam.
Pada prinsipnya, ada tiga langkah metode pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam. Pertama, menanamkan akidah Islam dengan metode yang menggugah akal, menggetarkan jiwa, dan menyentuh perasaan. Kedua, mendorong peserta didik untuk menegakkan cara berpikir dan berperilaku di atas akidah dan syariah Islam yang telah menghujam kuat dalam hatinya. Ketiga, mengembangkan kepribadian dengan mengisi pemikiran dengan tsaqafah islamiyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt.
(Menggagas Pendidikan Islam, hlm. 66)
Ke sanalah arah pendidikan harus dituju. Pendidikan harus menanamkan akidah Islam, membina cara berpikir islami, dan membentuk kebiasaan berperilaku sesuai aturan Islam. Proses pendidikan dilakukan melalui pembinaan intensif, pembentukan pola pikir dan pola sikap islami, serta tidak hanya berfokus pada nilai materi, tetapi juga nilai maknawi dan ruhiyah. Kurikulum harus berbasis akidah Islam dan menjadikan adab sebagai fondasi utama.
Oleh karena itu, negara (Khilafah) wajib menjadi penjamin utama pendidikan, pembinaan moral umat, serta perlindungan generasi dari kezaliman sosial. Dengan pengawasan negara yang benar, kekhawatiran akan lahirnya generasi yang rusak dapat dihindari.
Asas pendidikan Islam adalah akidah Islam. Asas ini memengaruhi penyusunan kurikulum, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dibentuk, serta interaksi seluruh komponen penyelenggara pendidikan.
Wallahu a‘lam. [ry]
Baca juga:
0 Comments: