Headlines
Loading...
Sekolah Bebas Motor: Solusi atau Simbol Kepedulian Semu?

Sekolah Bebas Motor: Solusi atau Simbol Kepedulian Semu?

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali mencuri perhatian publik lewat kebijakan barunya: pelajar wajib berjalan kaki ke sekolah. Ia menegaskan, Pemprov Jabar akan membangun trotoar di sekitar sekolah agar jarak tempuh pelajar, guru, dan staf sekolah tidak terlalu jauh. Tujuannya sederhana, yaitu mengajak masyarakat kembali terbiasa berjalan kaki, meniru masa lalu yang lebih sehat dan sederhana.

“Pelajar zaman sekarang harus belajar seperti zaman batu, banyak jalan kaki,” ujarnya sambil tersenyum dalam konferensi pers di Bandung (Liputan6.com, 28/10/2025).

Kebijakan itu sontak menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pihak memuji semangatnya yang peduli lingkungan dan kesehatan, tetapi sebagian lainnya menilai kebijakan tersebut belum menyentuh akar masalah pendidikan dan akses mobilitas siswa.

Pengamat pendidikan dan generasi, Rezkiana Rahmayanti, S.P., menilai bahwa setiap anak seharusnya memiliki hak untuk mengakses pendidikan tanpa terkecuali. “Setiap anak berhak atas pendidikan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1,” ungkapnya.

Ia mengingatkan, fakta di lapangan justru menunjukkan banyak anak yang masih kesulitan mengakses sekolah karena keterbatasan sarana dan jarak tempuh. “Bagi sebagian anak, sepeda motor bukan kemewahan, melainkan kebutuhan agar tidak terlambat sekolah,” ujarnya.

Rezki menyoroti bahwa kebijakan seperti “sekolah bebas motor” dapat memperlebar kesenjangan jika tidak diimbangi dengan fasilitas transportasi publik yang memadai. Menurutnya, masalah utama pendidikan bukan pada cara siswa pergi ke sekolah, melainkan pada lemahnya dukungan sistemik dan pengelolaan pendidikan yang belum berpihak pada rakyat kecil.

“Masalah pendidikan bukan karena negara miskin, tetapi karena pengelolaan yang salah arah. Sistem kapitalisme menempatkan pendidikan sebagai komoditas, bukan hak,” tegasnya (MuslimahNews.net, 23/8/2025).

Wajah Populis di Balik Kebijakan

Kebijakan “sekolah bebas motor” tampak sederhana, tetapi menyimpan nuansa populisme khas penguasa kapitalis. Pemerintah seolah hadir memberi solusi, padahal tak menyentuh akar persoalan.

Ketika pelajar dipaksa berjalan kaki tanpa dibarengi fasilitas transportasi publik yang layak, kebijakan ini berubah menjadi simbol kepedulian semu.

Ulah Sistem Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme, tak ada layanan publik yang benar-benar gratis. Pendidikan, kesehatan, hingga transportasi selalu dikaitkan dengan hitungan untung rugi. Negara menjadi pelayan bagi pemilik modal, bukan pelindung rakyat.

Kebijakan seperti ini sering lahir sebagai pencitraan, bukan perubahan nyata. Ironisnya, negara kerap kehilangan tanggung jawab moral dalam meri’ayah rakyatnya. Ia lebih sibuk menambal popularitas ketimbang memastikan pendidikan berkualitas dapat dijangkau semua kalangan. Hasilnya, rakyat hanya disuguhi kebijakan seremonial tanpa perbaikan mendasar.

Negara kapitalis seolah hadir dengan wajah ramah, tetapi tangan kosong. Pemerintah berbicara tentang reformasi pendidikan, sementara sekolah-sekolah di pelosok masih kekurangan guru, fasilitas, dan akses transportasi. Ketika rakyat menuntut haknya, negara menutup telinga dengan alasan keterbatasan anggaran.

Padahal, rakyat bukan meminta belas kasihan, melainkan hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Ketika pendidikan menjadi urusan daerah, sementara pusat lepas tangan, kesenjangan antardaerah kian melebar. Inilah bukti nyata gagalnya sistem sekuler dalam meri’ayah rakyat. Negara hanya memberi janji, tetapi tak memberi jaminan.

Islam dan Solusi Hakiki Pendidikan

Islam menawarkan paradigma yang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan sekadar layanan publik, melainkan kewajiban negara terhadap seluruh rakyat.

Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah, no. 224)

Dalam peradaban Islam, negara (Daulah Islam) menyediakan pendidikan berkualitas secara cuma-cuma bagi seluruh warganya tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin. Biayanya diambil dari baitulmal, bukan dari pungutan rakyat.

Khalifah Harun ar-Rasyid bahkan mengalokasikan dana besar bagi ilmuwan dan guru, hingga gaji mereka setara dengan atlet profesional masa kini. Negara Islam tidak menuntut rakyat berjalan kaki untuk sekolah, melainkan membangun sistem yang memastikan setiap anak dapat belajar dengan aman, nyaman, dan bermartabat.

Karena itu, pemerataan pendidikan pada masa kekhilafahan bukan sekadar cita-cita, melainkan kenyataan yang melahirkan ilmuwan besar seperti Al-Khwarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi.

Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang menempatkan rakyat sebagai amanah, bukan alat politik. Islam memandang pendidikan sebagai jalan menuju peradaban, bukan sekadar aktivitas administratif. Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan penonton.

Kebijakan “wajib jalan kaki” mungkin bermaksud baik, tetapi tanpa sistem yang benar, ia hanya menjadi langkah kecil tanpa arah. Sementara Islam telah menunjukkan jalannya, bahwa tanggung jawab negara bukan membuat rakyat berjalan kaki, melainkan memastikan setiap langkah menuju sekolah adalah bagian dari ibadah dan kemuliaan.

Penutup

Apakah kita ingin terus berjalan di jalan sempit kebijakan pragmatis, atau melangkah menuju sistem yang menuntun pada keadilan dan kemaslahatan sejati, yaitu sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin? [US]


Baca juga:

0 Comments: