Oleh: Lalitya Mahardhika
(Aktivis Muslimah Kalbar)
SSCQMedia.Com—Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kian marak serta meningkatnya kekerasan yang melibatkan remaja menunjukkan adanya permasalahan sosial yang mendasar. Lonjakan kasus KDRT dan kekerasan remaja bukanlah fenomena kriminal lokal, melainkan epidemi global. Dalam Catatan Tahunan 2024, Komnas Perempuan menyatakan terjadi peningkatan 300% kasus KDRT yang dilaporkan dalam satu dekade terakhir.
GoodStats.id melaporkan jumlah kasus KDRT di Indonesia mencapai 10 ribu perkara per September 2025. Angka ini sejalan dengan laporan WHO dan PBB bahwa negara-negara di dunia, termasuk Amerika, mengalami peningkatan kasus KDRT. Demikian pula data kekerasan yang melibatkan remaja (tawuran, perundungan, dan sebagainya). Sepanjang 2023, KPAI menerima 3.772 pengaduan kasus kekerasan anak, dengan tren anak sebagai pelaku yang semakin meningkat. Banyak pelaku merupakan remaja. KPAI mencatat faktor utamanya adalah pengaruh pertemanan, lingkungan, dan keluarga yang tidak kondusif. Secara global diperkirakan 200.000 pembunuhan terjadi setiap tahun, dilakukan oleh pelaku berusia 10–29 tahun.
Data-data di atas bukan sekadar angka. Itu adalah bukti rapuhnya ketahanan keluarga dan rusaknya mentalitas generasi muda, yang secara fundamental diakibatkan oleh sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan secara global, termasuk di Indonesia. Sistem kapitalisme berlandaskan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan individu, publik, dan negara. Pemisahan ini melahirkan berbagai persoalan sosial, terutama pada keluarga dan remaja.
Dampak pada Keluarga
Konsep sekularisme menghilangkan fondasi dan pilar ketakwaan yang seharusnya menjadi pengikat hubungan suami, istri, dan anak.
Tanpa landasan ibadah dalam rumah tangga, peran suami dan istri hanya berpijak pada kepentingan materi (ekonomi) dan pemuasan diri (biologis), bukan pada aturan agama (syariat). Kekosongan spiritual ini membuat ikatan keluarga menjadi rapuh dan mudah hancur.
Dampak pada remaja
Sekularisme menumbuhkan anak-anak dalam lingkungan yang rapuh dan serba terbuka. Pendidikan sekuler-liberal mengajarkan hak tanpa batas dan menyingkirkan nilai agama, yang akhirnya melahirkan anak-anak yang tumbuh tak terkendali, mudah marah, dan terbiasa melakukan kekerasan seperti tawuran, perundungan, bahkan pembunuhan.
Hal ini terjadi karena hilangnya akhlak mulia dan kontrol diri berlandaskan iman. Ditambah tekanan ekonomi dan budaya materialisme dalam kapitalisme, suami-istri yang seharusnya saling mendukung malah saling menyalahkan akibat tekanan finansial dan gaya hidup. Frustrasi ini mudah berubah menjadi KDRT.
Apa yang dilakukan negara?
Negara sebenarnya sudah berupaya memberi solusi, melalui UU PKDRT dan hukum pidana lainnya, serta melalui langkah-langkah preventif di bidang pendidikan, sosial, bansos dan subsidi, serta layanan kelembagaan. Namun, upaya preventif dan penegakan hukum ini masih bersifat parsial dan tidak menyentuh akar persoalan berupa kerusakan sistem.
Sistem hukum dan langkah preventif dinilai gagal membangun karakter masyarakat; tidak heran kasus KDRT dan kekerasan remaja terus meningkat selama kapitalisme-sekuler masih diterapkan.
Hal ini karena kapitalisme memandang keluarga bukan sebagai pilar peradaban yang harus dijaga, tetapi sebagai unit konsumen. Solusi parsial tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik menyeluruh yang digali dari nilai-nilai fundamental Islam. Penerapan Islam secara komprehensif dalam bingkai negara akan merawat serta menjaga individu dan keluarga.
Negara yang menerapkan Islam kafah akan menyelenggarakan pendidikan Islam yang utuh sebagai kurikulum primer. Kurikulum ini tidak hanya mengejar kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan kepribadian islami. Setiap pelajaran—sains hingga seni—akan dikaitkan dengan akidah Islam, akhlak mulia, dan tanggung jawab. Inilah yang menciptakan kontrol diri. Dalam kehidupan sosial, akan terbentuk pula budaya saling menasihati dan mencegah kemungkaran.
Keluarga akan diperkuat melalui pembinaan berbasis syariat Islam. Islam menata peran dan kewajiban suami-istri secara saling melengkapi dan penuh kasih sayang. Penataan ini mampu mengokohkan keluarga dan mencegah KDRT karena berpedoman pada nilai agama.
Negara Islam juga akan menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Sistem ekonomi Islam mengatur pengelolaan harta dan memastikan distribusi kekayaan yang adil, sehingga tekanan ekonomi—yang menjadi sebab keretakan dan KDRT—dapat diminimalisir.
Negara juga akan menerapkan sanksi hukum Islam secara tegas dan adil. Dalam Islam, hukuman bagi pelaku kekerasan (seperti qishash dan takzir) berfungsi ganda: menjerakan pelaku dan mendidik masyarakat secara preventif. Sanksi yang tegas dan berbasis syariat inilah yang mampu melindungi masyarakat dari kejahatan.
Maraknya KDRT dan kekerasan remaja merupakan buah pahit penerapan kapitalisme-sekuler. Sistem ini telah merampas peran agama, mencekik keluarga dengan materialisme, dan membuat negara berlepas tangan. Solusi-solusi yang ada pun hanya bersifat tambal sulam dan semu.
Namun, hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam ruang individu, masyarakat, dan negara, akan terwujud generasi penyejuk mata, ketahanan keluarga, serta harmonisasi masyarakat. [An]
Baca juga:
0 Comments: