Oleh: Ummi Fatih
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kondisi penduduk sipil Sudan di tengah perang antarmiliter saudara mereka kian mengkhawatirkan. Menurut laporan Al Jazeera, hanya dalam kurun waktu tiga hari, 1.500 penduduk yang berusaha melarikan diri dilaporkan tewas. Bahkan melalui pengepungan Kota Al-Fasher yang dilakukan militer RSF selama 18 bulan, sekitar 14.000 penduduk kehilangan nyawa (Republika.com, 31/10/2025).
Dari kekejaman yang tidak manusiawi tersebut, muncul pertanyaan penting: mengapa hal ini terjadi, dan solusi apa yang sebenarnya dibutuhkan?
Mengenali Sudan
Sudan merupakan salah satu negara terluas di Afrika, bahkan menempati posisi ke-10 sebagai negara terbesar di dunia. Sudan menguasai 1.545 km panjang Sungai Nil, sedangkan Mesir hanya sekitar 1.100 km.
Negeri ini juga dikenal memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama emas. Pada 2024, pertambangan emas tradisional Sudan mampu menghasilkan 53 ton emas (kumparan.com, 4/11/2025).
Dari keluasan wilayahnya tersebut, Sudan menyimpan situs-situs peninggalan sejarah lebih banyak daripada Mesir. UNESCO mencatat terdapat sekitar 100 piramida yang berdiri di Pulau Marwi, berasal dari abad ke-8 SM hingga ke-4 M.
Dari sisi etnis dan budaya, Sudan memiliki keberagaman suku, ras, dan agama. Namun sebagian besar penduduknya adalah muslim.
Inggris, yang masih memegang sisa kekuasaan kolonial, membagi Sudan menjadi dua bagian. Sudan Utara dipandang lebih maju secara ekonomi dengan penduduk mayoritas Arab muslim, sedangkan Sudan Selatan dihuni oleh suku-suku Afrika nonmuslim yang dianggap kurang berkembang. Pembelahan ini menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu perang saudara berkepanjangan.
Karena pemberontakan yang muncul, diktator Sudan, Omar Al-Bashir, mendirikan organisasi paramiliter Janjaweed pada 1989. Namun, alih-alih meredam konflik, organisasi ini justru melakukan kekejaman brutal terhadap kaum non-Arab.
Pada 2017, seorang pemuda bernama Hemedti ditunjuk sebagai komandan. Janjaweed kemudian diubah menjadi RSF, yang memiliki kekuatan setara dengan militer resmi Sudan, SAF.
Ironisnya, Hemedti kemudian bergabung dengan SAF untuk menggulingkan Al-Bashir. Rakyat sempat bergembira karena berakhirnya rezim yang menyiksa mereka. Pada 2019, Sudan mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi.
Namun ketegangan kembali muncul antara SAF dan RSF. Ideologi sekular yang mereka anut menjauhkan mereka dari nilai-nilai agama. Tanpa keimanan yang menuntun, mereka kehilangan kesadaran moral. Kekejaman pun dilakukan tanpa ragu demi perebutan kekuasaan.
Lebih parah lagi, konflik Sudan tidak hanya dipengaruhi oleh sisa kolonialisme Inggris. Negara-negara lain turut bermain, termasuk Amerika dan sekutu-sekutunya, yang berlomba menanamkan pengaruh demi kepentingan geopolitik.
Misalnya, Amerika tampil bak penengah dengan menawarkan solusi gencatan senjata. Mesir, Saudi, dan UEA menyetujuinya dengan membentuk kelompok The Quad sebagai upaya meredam kekerasan (detik.com, 8/11/2025).
Namun, apakah solusi gencatan senjata itu dapat dianggap baik jika diprakarsai oleh Amerika—negara yang memiliki rekam jejak moral dan kemanusiaan yang kelam? Tentu tidak. Amerika telah lama dikenal mendukung penjajahan global dan tak segan menggunakan bom nuklir maupun kekuatan militer demi kepentingannya.
Gencatan senjata ala Amerika sebenarnya adalah upaya memperluas hegemoni dan merampas sumber daya alam Sudan. Rasa “utang budi” Sudan pada Amerika membuat negara itu sulit menolak intervensi asing. Penguasaan tambang maupun akses pelabuhan dapat diberikan kepada negara-negara Barat dengan dalih pengembangan ekonomi.
Akar persoalan perang saudara Sudan sesungguhnya adalah ideologi sekularisme-demokrasi yang dijadikan tolok ukur pengambilan keputusan. Akibatnya, tindakan para penguasa jauh dari nilai kebenaran.
Islam Solusi Sempurna
Setiap konflik global hanya dapat diselesaikan secara hakiki dengan Islam. Islam memiliki konsep kebenaran yang mampu menyelesaikan permasalahan manusia sampai ke akarnya.
Jika para pemimpin negeri-negeri muslim menjadikan Islam sebagai pedoman, niscaya mereka tidak akan bersekutu dengan negara-negara kafir yang zalim. Mereka juga tidak akan mengkhianati saudara seiman, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Jika para pemimpin menaati ajaran Rasulullah saw., mereka akan memahami bahwa kepemimpinan dalam Islam hanya satu: kepemimpinan khalifah bagi seluruh umat. Dengan itu, kaum muslimin tidak akan terpecah-belah, sebab mereka terikat dalam satu kepemimpinan yang menyatukan: Khilafah Islam.
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. telah memberi contoh nyata ketegasan kepemimpinan dalam Khilafah. Ketika muncul gerakan kemurtadan yang dipimpin Musailamah Al-Kadzdzab, Abu Bakar memerangi mereka. Hal itu beliau lakukan karena memahami sabda Nabi saw.:
“Siapa saja yang membaiat imam (khalifah), lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya semampunya. Jika datang orang lain merebutnya, penggallah tengkuk orang itu.”
(HR Muslim)
Akhirnya, masihkah kita berpaling dari sistem Khilafah Islam? Hanya dengan sistem itu kerukunan dan kedamaian sejati dapat terwujud. Ketika hukum Allah ditegakkan, berkah dan rahmat-Nya akan tercurah bagi seluruh alam. [Ni]
Baca juga:
0 Comments: