Headlines
Loading...
Perda Investasi dan Bayang Demokrasi Kapitalisme

Perda Investasi dan Bayang Demokrasi Kapitalisme

Berikut versi naskah yang sudah dirapikan sesuai KBBI, EYD, dan tipografi siap tayang di website (tanpa tanda —):


Investasi dan Kemandirian Ekonomi dalam Pandangan Islam

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) secara resmi telah mengesahkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2025 yang mengatur investasi dan kemudahan berusaha. Perda ini diharapkan menjadi katalis yang mempercepat arus modal masuk, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat daya saing ekonomi daerah (hukumonline.com, 28/10/2025).

Kebijakan ini diberlakukan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mendorong investasi yang bersifat inklusif serta berkelanjutan. Investasi memang tampak menjanjikan. Namun, di balik gemerlapnya potensi ekonomi, tersimpan pertanyaan mendasar: siapa yang paling diuntungkan?

Pakar ekonomi Islam, Nida Saadah, S.E., M.E.I., Ak., menegaskan bahwa investor berpikir dengan logika korporasi. “Orientasi mereka adalah profit. Mereka akan mengelola modal seefisien mungkin untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Artinya, para investor tidak bisa diharapkan untuk mempekerjakan rakyat,” jelasnya.

Menurut Nida, akar persoalan muncul karena negara menggantungkan pembangunan dan pembukaan lapangan kerja hanya pada investasi. Pandangan ini justru membuat negara kehilangan kemandiriannya dalam mengelola sumber daya ekonomi yang sejatinya milik rakyat (muslimahnews.net, 17/12/2023).

Ketika Rakyat Menelan Pil Pahit Demokrasi

Kemudahan investasi memang tampak seperti angin segar. Namun, di baliknya tersembunyi kenyataan pahit bahwa regulasi yang longgar sering kali memfasilitasi pemilik modal untuk menumpuk keuntungan, sementara rakyat hanya menjadi penonton dalam panggung ekonomi.

Inilah wajah asli demokrasi kapitalisme, di mana kekuasaan mudah tersandera oleh kepentingan oligarki. Akibatnya, perda yang sejatinya dibuat untuk kesejahteraan rakyat justru berpotensi menjadi alat legitimasi bagi kepentingan segelintir elite ekonomi.

Dalam sistem ekonomi neoliberal yang mendominasi kebijakan nasional, pembangunan dianggap sejalan dengan pertumbuhan investasi dan perdagangan bebas. Teori ini menanamkan keyakinan bahwa pemerataan akan datang dengan sendirinya melalui efek tetesan ke bawah (trickle-down effect).

Namun kenyataan berkata lain. Seiring industrialisasi, jurang antara si kaya dan si miskin justru melebar.

Teori Harrod-Domar dalam ekonomi pembangunan menyatakan bahwa investasi mendorong pertumbuhan melalui perluasan kapasitas produksi. Namun, teori ini lahir dalam sistem kapitalisme yang bertumpu pada akumulasi modal, bukan kesejahteraan rakyat.

Dalam praktiknya, negara yang terjebak pada utang dan investasi asing justru kehilangan kendali terhadap ekonominya sendiri. Pembangunan industri yang dibiayai oleh investor besar sering kali meminggirkan pelaku lokal, menggusur lahan rakyat, dan meninggalkan kerusakan sosial serta lingkungan yang panjang. Kenyataan itu membuktikan bahwa logika pertumbuhan tanpa keadilan hanyalah ilusi.

Islam, Solusi yang Mengembalikan Martabat Ekonomi

Islam memandang bahwa pembangunan ekonomi adalah tanggung jawab penguasa. Rasulullah saw. bersabda,

“Imam (pemimpin) adalah perisai. Ia menjadi pelindung bagi rakyatnya.”
(HR Bukhari dan Muslim)

Artinya, kesejahteraan rakyat tidak boleh diserahkan kepada pasar atau investor, tetapi menjadi amanah negara. Penguasa wajib memastikan seluruh kebutuhan dasar rakyat terpenuhi tanpa bergantung pada utang atau modal asing.

Dalam pandangan Abdurrahman Al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam, proyek strategis negara harus dikaji berdasarkan kebutuhan hakiki rakyat. Bila proyek itu tidak mendesak dan baitulmal tidak mencukupi, maka proyek dapat ditunda tanpa harus menggadaikan kedaulatan ekonomi kepada pihak asing.

Negara Islam memiliki empat pilar kebijakan ekonomi yang kuat, meliputi: 

Pertama, pelarangan riba agar pertumbuhan harta selalu terkait dengan aktivitas riil, bukan spekulasi. 

Kedua, optimalisasi baitulmal sebagai lembaga keuangan negara untuk mendukung modal usaha rakyat melalui hibah atau pinjaman tanpa bunga.

Ketiga, pengelolaan langsung sumber daya alam oleh negara tanpa privatisasi, untuk membuka lapangan kerja besar-besaran dan memastikan hasilnya kembali ke rakyat.

Keempat, penyelarasan pendidikan dan kebutuhan masyarakat, agar riset dan inovasi berjalan untuk kemaslahatan umat, bukan industri korporasi.

Penutup

Islam tidak membangun ekonomi untuk mengejar profit, melainkan untuk menegakkan keadilan. Selama 13 abad peradaban Islam berdiri, kesejahteraan merata tanpa ketimpangan ekstrem. Baik muslim maupun nonmuslim hidup dalam kemakmuran yang nyata.

Kita perlu bertanya, apakah investasi yang dipuja hari ini benar-benar membawa kesejahteraan, atau sekadar memperindah angka pertumbuhan?

Jika penguasa terus memandang investasi sebagai jantung ekonomi, maka rakyat akan terus menunggu kesejahteraan yang tak kunjung tiba. Namun, bila ekonomi dikembalikan pada prinsip Islam yang adil dan mandiri, niscaya kesejahteraan bukan lagi janji, melainkan kenyataan.

Wallahualam bissawab.
[Ni]


Baca juga:

0 Comments: