Generasi Terjerat Pinjol dan Judol, di Manakah Negara?
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kasus siswa SMP di Kulon Progo, DIY, yang terjerat judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) hingga bolos sekolah selama sebulan. Kasus ini memantik keprihatinan luas.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, menilai fenomena ini bukan sekadar kenakalan remaja, melainkan buah dari kesalahan sistem pendidikan kita saat ini (Kompas.com, 29 Oktober 2025).
Terungkap pula betapa ironi ini terjadi di tengah gencarnya kampanye literasi digital (Tirto.id, 29 Oktober 2025). Di tengah derasnya arus teknologi, anak-anak bangsa justru terseret arus yang salah—arus yang menghisap mimpi mereka di layar-layar kecil penuh jebakan.
Aktivis muslimah Iffah Ainur Rochmah mengingatkan bahwa judol dan pinjol adalah pasangan kehancuran. “Judol bisa dikawinkan dengan pinjol. Ketika uang habis, pelajar mencari pinjol. Dari situ, kerusakan berikutnya pasti terjadi,” ujarnya (MuslimahNews.net, 18 Juli 2024).
Iffah menegaskan, sistem yang membolehkan praktik semacam ini menunjukkan wajah peradaban yang sedang sakit. “Peradaban hari ini tak jauh berbeda dari zaman jahiliah. Ini karena Islam ditinggalkan.”
Pernyataan itu menampar kesadaran kita. Akar masalah ini bukan sekadar perilaku individu, melainkan sistem yang membentuk cara berpikir generasi muda, yaitu sistem yang menormalisasi keinginan cepat kaya, bahkan lewat jalan yang haram.
Konten judi online kini merambah situs pendidikan dan gim anak, menjerat pelajar lewat iklan yang menggoda. Ketika kalah, pelajar mencari jalan pintas melalui pinjol. Dari sinilah lingkaran setan dimulai.
Kasus ini menunjukkan celah besar dalam pengawasan orang tua dan sekolah, serta lemahnya peran negara dalam menutup akses ke situs-situs haram.
Pendidikan karakter dan literasi digital terbukti belum cukup kuat. Akar masalahnya lebih dalam: cara berpikir yang rusak akibat sistem kapitalistik, yang menilai segalanya dari untung-rugi materi. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator pasar, bukan pelindung rakyat.
Tak heran, meski banyak korban, pemerintah masih gamang menutup pintu pinjol dan judol. Label “legal” dijadikan pembenaran, padahal hakikat pinjol tetap ribawi dan judol tetap judi, dua-duanya haram.
Selama kuartal pertama 2025, PPATK mencatat 1.066.000 pemain judi online di Indonesia. Angka itu mencerminkan lemahnya penegakan hukum. Lebih ironis lagi, oknum pejabat Kominfo sendiri terlibat melindungi situs-situs judi dengan menerima imbalan.
Wajah Buram Kapitalisme
Semua ini menunjukkan bahwa akar persoalan bukan sekadar lemahnya pengawasan, melainkan rusaknya sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini menolak agama sebagai panduan hidup, melahirkan pendidikan yang materialistik dan apatis.
Akibatnya, lahirlah generasi tanpa arah, kehilangan makna hidup, dan mudah tergoda kesenangan instan. Kapitalisme juga memisahkan agama dari kehidupan, menjauhkan keluarga dari ketakwaan. Hidup hanya diukur dengan uang dan status, bukan iman.
Negara sibuk menjadi pelayan korporasi, bukan pelindung rakyat. Sumber daya alam diserahkan kepada segelintir pemodal, sementara rakyat dipaksa bertahan dengan utang.
Maka tak heran, pinjol dan judol tetap tumbuh subur, sebab sistem yang menopangnya juga subur dalam ketamakan. Itulah buah pahit kapitalisme—manis di permukaan, tapi racun di dalamnya.
Solusi Islam
Islam memiliki solusi yang tegas dan menyeluruh. Pertama, Islam menegaskan haramnya riba dan judi. Allah Swt. berfirman:
“Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(TQS Al-Baqarah: 275)
Tentang judi, Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(TQS Al-Maidah: 90)
Dalam sistem Islam, negara wajib menutup seluruh akses terhadap pinjol dan judol, serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku dan penyebarnya. Negara juga berkewajiban menerapkan sistem pendidikan Islam yang menanamkan akidah sejak dini, agar pelajar memiliki arah hidup yang jelas dan kekuatan iman untuk menolak godaan digital.
Dalam Khilafah Islam, tidak ada ruang bagi transaksi ribawi atau perjudian. Negara akan menghapus praktik riba dan menata sistem utang-piutang agar adil, tanpa bunga dan penindasan. Khalifah akan memastikan media dan internet diawasi berdasarkan standar halal-haram, bukan semata kepentingan ekonomi.
Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan sistem Islam, masyarakat tidak hanya dijaga secara hukum, tetapi juga dibina secara moral dan spiritual. Mereka tidak sekadar takut pada denda, tetapi takut pada dosa.
Itulah masyarakat bertakwa, masyarakat yang tidak mudah tergoda oleh uang cepat, karena tahu bahwa surga tidak bisa dibeli dengan klik dan kredit.
Penutup
Kasus siswa SMP yang terjerat pinjol dan judol bukan sekadar kisah tragis, tetapi cermin retak dari sistem yang gagal melindungi anak bangsa. Negara tak boleh lagi bersembunyi di balik regulasi longgar dan jargon digitalisasi. Negara harus hadir, bukan sekadar sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung sejati rakyatnya.
Selama kita bertahan dengan sistem kapitalisme, jerat pinjol dan judol akan terus menjerat generasi. Namun, jika kita berani kembali pada sistem Islam kafah, akan lahir generasi yang kuat, beriman, dan cerdas, bukan hanya di kepala, tetapi juga di hati.
Wallahualam bissawab.
[ry]
Baca juga:
0 Comments: