Oleh: Dira Fikri
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Perceraian menjadi potret sosial yang makin akrab di tengah masyarakat. Ramai muncul dari perceraian publik figur yang terjadi tiba-tiba, mulai dari influencer Tasya Farasya, kemudian Acha Septriasa, dan yang tidak kalah menghebohkan adalah penyanyi Raisa Adriana. Kisah cinta yang dulu terlihat nyaris sempurna ikut disorot media, lalu memasuki babak baru hingga menjadi Google Trends untuk kata kunci “cerai” dan memuncak pada minggu ketiga Oktober. Besarnya perhatian publik menunjukkan bahwa perceraian hari ini tidak hanya menjadi ruang privasi individu, tetapi juga ruang empati dan refleksi kolektif yang menarik untuk dibahas.
Hingga tahun 2024, Kemenag menghimpun data bahwa angka perceraian terus merangkak naik hingga mencapai 466,4 ribu kasus. Sedangkan pada tahun 2023, angkanya berada di 463,6 ribu kasus. Hal ini justru berkebalikan dengan angka pernikahan yang terus menurun, yaitu 1.577.255 kasus pada 2023 dan 1.478.424 kasus pada 2024. Secara geografis, provinsi yang menempati angka tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Namun, jika dilihat dari proporsi perbandingan dengan jumlah pernikahan, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Barat justru menjadi provinsi dengan angka perceraian paling tinggi. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada batas ekonomi maupun budaya dalam persoalan perceraian.
Meski negara telah meningkatkan penguatan ketahanan keluarga melalui program-program Kemenag, seperti 11 langkah strategis mediasi BP4, edukasi pranikah bagi calon pengantin, kampanye tepuk sakinah, hingga bimbingan pernikahan berkelanjutan, hasilnya belum menunjukkan dampak signifikan dalam menekan angka perceraian.
Penyebab perceraian pun beragam. Mulai dari masalah ekonomi, KDRT, ketidakharmonisan, hingga judi online. Pada usia pernikahan muda yang berada di bawah lima tahun, kelabilan emosi pasangan juga sering menjadi pemicu. Beban masalah akan terasa lebih berat ketika pasangan telah memiliki anak. Dampak perceraian sangat dirasakan anak, baik dari sisi psikologis maupun tumbuh kembang. Orang tua adalah figur utama dalam pembentukan kepribadian dan karakter anak. Karena itu, tidak jarang anak dari orang tua bercerai menjadi pendiam, tertutup, mengalami perubahan perilaku, bahkan depresi dan kecemasan berlebih akibat kurangnya rasa aman dan dukungan emosional.
Dengan kondisi demikian, anak dari keluarga broken home berpotensi kehilangan ruang untuk sembuh dari trauma. Sistem pendidikan sekuler hari ini yang menitikberatkan keberhasilan pada aspek materi tidak mampu membentuk generasi yang tangguh. Di saat luka pengasuhan belum pulih, kurikulum sekularistik justru mendorong orientasi materialistik yang jauh dari nilai kemanusiaan. Dampaknya, perilaku menyimpang dan kriminalitas pada anak lebih mudah muncul.
Hal ini sangat berbeda dengan kurikulum pendidikan Islam yang membentuk pola pikir dan pola sikap islami melalui pembinaan intensif. Pendidikan Islam tidak hanya menekankan nilai materi, tetapi juga nilai maknawi dan ruhiyah. Dengan pola ini, anak dari keluarga bercerai sekalipun dapat tumbuh menjadi generasi yang kuat karena dibimbing oleh visi hidup jangka panjang hingga akhirat.
Sistem pergaulan sekuler juga berperan dalam meningkatkan angka perceraian. Interaksi tanpa batas antara laki-laki dan perempuan membuka celah terjadinya perselingkuhan. Ruang digital memperluas kemungkinan pertemuan antar lawan jenis, ditambah tidak adanya aturan yang mengkriminalisasi perzinaan jika dilakukan atas dasar suka sama suka.
Berbeda dengan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dengan jelas. Ada batasan yang harus dipatuhi karena lawan jenis memiliki kecenderungan satu sama lain, sehingga pengaturan ini menjadi solusi agar kehidupan berjalan baik dan seimbang sesuai fitrah. Aturan ini menciptakan keharmonisan tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam masyarakat. Hasilnya adalah generasi yang kuat secara karakter dan sehat secara mental karena lahir dari keluarga yang utuh di atas landasan ketakwaan kepada Sang Pencipta.
Dalam sistem politik ekonomi kapitalistik, negara hanya berperan sebagai regulator sehingga ketimpangan sumber daya sering terjadi dan hanya dikuasai pemodal. Kepemilikan umum yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat justru dimonopoli korporasi. Adapun dalam sistem politik ekonomi Islam, negara wajib memastikan kesejahteraan keluarga dan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap jiwa. Negara bertanggung jawab bukan hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah Swt. yang Maha Mengadili.
Jika semua aspek kehidupan menerapkan aturan Islam, penyelesaian masalah perceraian dapat ditangani hingga ke akar. Keluarga harmonis akan tercipta, karakter anggota keluarga berdiri pada prinsip halal haram, dan generasi tangguh akan terlahir dari ketahanan keluarga yang kuat. Inilah solusi paripurna ketika Islam diterapkan secara utuh dalam kehidupan, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun negara.
Wallahu’alam bish-shawab.
[An]
Baca juga:
0 Comments: